Ini alamat bahaya karena sejatinya jabatan adalah amanah. Bukankah amanah dijalankan agar seseorang menjadi lebih taat? Tentu saja.
Jika jabatan hanya diukur dari harta, maka terjadilah jual beli jabatan. Jika jabatan hanya diukur dari keturunan dan reputasi, terjadilah jilat-menjilat jabatan. Jika jabatan hanya diukur dari kecantikan rupa, maka terjadilah lobi-lobi gelap dalam jabatan.
Beda hal jika jabatan idaman itu didasarkan pada ketaatan. Dari sana biasanya akan lahir kebijakan yang amat bijak dan bijaksana.Â
Misalnya, kepala sekolah yang mengejar ketaatan akan mengusahakan agar sekolah gratis. Pemimpin yang ingin lebih taat akan memudahkan segala urusan rakyatnya. Seperti inilah semestinya jabatan idaman.
Kembali lagi pada tambahan kriteria calon istri idaman:
"Sebaik-baik wanita (istri) adalah jika kamu memandangnya, dia menyenangkanmu. Jika kamu memerintahnya, dia menaatimu. Dan jika kamu sedang tidak ada, dia menjagamu pada dirinya dan hartamu." (HR. Ath Thayalisy dalam musnadnya no. 2325)
Siapakah laki-laki yang tidak bahagia jika nanti mendapatkan seorang istri yang selalu bahagia jika dipandangi, selalu taat jika diperintah (yang baik), dan selalu menjaga diri dan harta di saat laki-laki pergi. Benar-benar istri idaman. Begitu pula kiranya dengan jabatan idaman.
Jabatan apapun itu ketika dipandangi maka kerja akan lebih semangat dan bertumbuh-tumbuh, barulah bisa disebut jabatan idaman.Â
Terang saja, untuk apa menjabat di posisi tertinggi jika setiap kali melihatnya kita jadi ingin bolos kerja atau bahkan terbebani karena ada rasa tidak mampu menjalankan amanah.
Kemudian, jabatan idaman kiranya bisa memudahkan seorang pemimpin untuk mengajak seisi instansi untuk berkemajuan dan lebih baik, didukung dengan anggota-anggota yang satu visi serta tujuan.
Bukanlah jabatan idaman namanya jika hanya jadi tebengan pihak-pihak tertentu untuk memanfatkan kepentingan pribadi, apalagi sampai mempermudah jalannya korupsi, kolusi dan nepotisme.
Selain itu, jabatan idaman adalah jabatan yang dapat menjaga seorang pemimpin di manapun ia berada. Di ruang kerja ia dianggap baik, dan di luar tetap dianggap baik. Bukan hanya karena diri pemimpin yang baik, melainkan jabatan itu telah mempermudahnya untuk berbuat baik.