Sejak diangkatnya Nadiem menjadi Mendikbud hinggalah hari ini, harapan besar tentang hebatnya pendidikan Indonesia terus terdoakan. Kebijakan krusial mulai lahir seiring dengan merebaknya nada pendidikan yang isunya dulu akan didigitalisasikan.
Tapi nyatanya, hari ini pendidikan mulai digaungkan dengan judul Headline "Merdeka Belajar". Di tahun 2020, gagasan ini rasanya akan terus menggema seiring dengan evaluasi, opini, dan keluh kesah seluruh stakeholder pendidikan.
Namun, dari beberapa kebijakan terkait dengan pendidikan ternyata ada yang kiranya dikeluhkan oleh beberapa pihak. Salah satunya adalah para penggagas pendidikan nonformal.
Tepatnya pada hari Rabu (08/01/2020) kemarin, pegiat pendidikan nonformal dari sejumlah daerah menggelar aksi unjuk rasa mendesak untuk bertemu dengan Nadiem Makarim, di depan kantor Kemendikbud, Jakarta.
Sebabnya bukanlah angin dan hujan yang terlalu deras melainkan keresahan bersama, tuah dari kebijakan Perpres Nomor 82 Tahun 2019.
Dalam aturan ini, ada perubahan nomenklatur Kemendikbud yang menghapus Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (PAUD Dikmas), PAUD digabung dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, sementara itu pendidikan masyarakat dilebur dengan pendidikan formal.
Sontak saja, protes segera dilayangkan oleh Sumarwati sebagai Ketua Umum Forum Komunikasi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Indonesia:
Di lain sisi, Ketua Umum DPP Forum Pengelola LKP Ali Badarudin menyatakan bahwa pihaknya mendesak agar Perpres Nomor 82 Tahun 2019 tersebut direvisi. Ia menganggap bahwa hilangnya Direktorat Pendidikan Masyarakat merupakan sebuah keprihatinan nasional.
Beberapa pernyataan ini menunjukkan bahwa ada ketakutan dan kekhawatiran yang nyata terhadap kedaulatan pendidikan nonformal di hari esok. Terang saja, selama ini pendidikan nonformal dan formal ibarat jalan dua jalur yang bersebelahan.
Walaupun keduanya senantiasa berkelok-kelok, namun ada muara di depannya yaitu bundaran. Bundaran inilah yang menjadi kesimpulan alias terintegrasinya pendidikan.Â
Sinkronisasi per jenjang setidaknya telah meningkatkan efisiensi dan kesetaraan antara pendidikan formal dan nonformal.
Pentingnya Pendidikan Nonformal
Barangkali, selama ini kita masih akrab dengan pendidikan formal, informal dan nonformal. Walaupun kenal dengan ketiganya, sebagian besar orang cenderung lebih nyaman menggeluti pendidikan formal.
Terang saja, paradigma yang berkembang selama ini menunjukkan bahwa sekolah utamanya melalui jalur formal saja. Mau daftar SD, terserah mau negeri atau swasta. SMP, SMA dan SMK juga demikian. Nanti dulu soal homeschooling, dan nanti pula dengan kursus-kursus yang setara.
Padahal, pendidikan nonformal sangat penting dalam mengembangkan potensi anak. Bahkan, jika dibarengi dengan pendidikan formal, anak akan lebih terampil dan profesional.
Katakanlah seperti TK, Taman Pendidikan Al-Qur'an, Sanggar, Kursus Komputer, Pelatihan Kerja/kewirausahaan, hingga Majlis Taklim pun memiliki maslahat yang besar. Anak bisa makin sukses dengan pengetahuan dan keterampilan yang terasah, serta kecakapan diri dan sikap yang tertumbuhkan.
Jangan lupa dengan pendidikan kesetaraan. Keberadaan Paket A, B, dan C sebenarnya sangat berguna bagi kelanjutan pendidikan anak-anak yang berkesusahan untuk sekolah.
Apalagi dulu saat kelulusan siswa masih ditentukan oleh UN. Secara otomatis, siswa yang belum mencapai standar nilai UN tidak akan lulus. Lalu, apakah mereka akan mengulang di tingkat kelas yang sama sembari menahan malu?
Itu masih seukuran siswa. Bagaimana dengan mereka yang sudah mulai menua dan terganjal dengan pendidikan dasar yang belum mencapai 12 tahun?
Tidak mungkin rasanya mereka ikut duduk sebangku bersama dengan siswa yang bisa jadi lebih muda usianya daripada anak mereka. Selain itu, mereka pula sudah bekerja hingga sulit untuk membagi waktu. Hmm, di sinilah peran penting keberadaan pendidikan kesetaraan.
Lebih lanjut, keberadaan pendidikan nonformal bukan tanpa tujuan yang nyata, terlebih lagi dengan kesenjangan pendidikan yang kita derita selama ini. Antara pendidikan di pusat dan sekolah 3T belum kunjung menemui muara kesetaraan.
Minimal setiap daerah punya Pusat Kegiatan Belajar Mengajar. Siapa tahu di daerah itu sekolah formal terlalu jauh jaraknya. Siapa tahu di daerah itu banyak anak-anak yang putus sekolah, kekurangan dana dan malu karena tidak punya seragam sekolah. Atau? Persoalan sarana dan prasarana lainnya yang tidak mendukung.
Kesenjangan-kesenjangan seperti inilah yang kemudian menjadikan pendidikan nonformal sangat berguna di suatu daerah.Â
Perpres Nomor 82 Tahun 2019 Bisa Memarginalkan Pendidikan Nonformal
Jika memang dihapuskan, lalu tindak lanjutnya bagaimana?
Ini adalah ungkapan pertanyaan Kak Seto selaku Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) yang menyayangkan Ditjen PAUD Dikdasmen dihapus.
"Dengan tidak adanya ini (Ditjen PAUD Dikmas) kami mempertanyakan, banyak yang cukup sukses dan ada jalur nonformal yang diterima di kedokteran UI, UGM, USU, Unhas, ITB, IPB bahkan Harvard University. Ini (lulusan nonformal) banyak sukses kok tiba-tiba tidak ada dan lalu dinaungi oleh siapa. Ini menjadi kegelisahan."
Lagi-lagi ini berangkat dari kekhawatiran dan ketakutan yang besar terhadap pendidikan nonformal yang nantinya makin terkesampingkan.
Terang saja, keberadaan pendidikan nonformal saat ini relatif lebih mandiri karena tidak terlalu bergantung dengan dana dari pusat.Â
Jika minim dana, tinggal cari donatur dan sukarelawan pengajar. Selain itu, desa juga bisa memprogramkan pelatihan-pelatihan tertentu untuk mewujudkan warga yang siap kerja dan tidak buta aksara.
Mungkin desa mau memajukan kearifan budaya lokalnya, atau ingin mengembangkan produk-produk andalan di desanya. Semua ini kiranya dapat menjadi alasan yang kuat agar tetap ada badan khusus yang menaungi pendidikan nonformal.
Jika pendidikan nonformal dapat menghasilkan output yang setara dengan output dari sekolah formal, bukankah mereka sudah menjadi badan usaha amal pendidikan?
Tentu saja demikian. Toh, hanya amal yang menjadi motivasi besar pada guru dalam mendidik di daerah 3T. PNS? Barangkali akan banyak keluh jika dimutasikan ke daerah pelosok dan tertinggal.
Jika terus mengharap kepada PNS maka akan termarginalkanlah pendidikan terutama bagi anak-anak yang putus sekolah.
Mereka butuh sukarelawan, yang rela melihat mereka belajar tanpa sandal, sepatu, tas dan seragam sekolah. Biasanya, banyak anak-anak muda yang ingin mengamalkan ilmunya. Bukan gaji yang dicari, tidak juga hanya pengalaman, tapi amal dari jerih payah.
"Kami ini berjuang untuk orang-orang termarjinalkan. Untuk anak-anak putus sekolah, agar bisa kembali mendapat pendidikan." Tambah Sumarwati.
Inilah yang kiranya telah menjadi puncak protes agar Perpres Nomor 82 Tahun 2019 segera direvisi. Bahasanya mungkin tidak dihapus, melainkan dipadukan, dileburkan atau disinkronisasikan.
Tapi, apakah pengertian Kemendikbud terhadap Dikmas itu tidak terlalu marginal? Baik peran PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Mengajar) maupun LKP (Lembaga Kursus dan Pelatihan) itu tidak bisa dimarginalkan.
Mereka punya sistem yang lebih luwes, termasuk dengan kurikulum yang berdasarkan kesepakatan dan aspiratif. Jika nanti dilebur jadi formal, apakah tidak terbelenggu dengan sistem pendidikan formal?
Ini sekadar ketakutan dan kekhawatiran yang mungkin akan terjadi di hari kemudian, jika saja tiada tindak lanjut yang berarti dari Perpres Nomor 82 Tahun 2019.
Barangkali, sebaiknya pemerintah membantu para pegiat pendidikan nonformal untuk terlebih dahulu memperbaiki kepercayaan dan meningkatkan reputasinya. Terus terang saja, selama ini pandangan sebagian masyarakat terhadap pendidikan nonformal belum terlepas dari lubang-lubang negatif tentang beli ijazah paket dan sejenisnya.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H