Nyatanya, selama ini kebanyakan orang terjebak dengan definisi-definisi di sekolah. Istilah-istilah bahasa, metode, pendekatan, pengembangan, bahkan evaluasi hanya melahirkan orang-orang yang pintar secara pengetahuan.
Ada kasus, mereka tahu dengan pedoman penyelesaian, kritis, bahkan punya solusi "bijak" dalam menyelesaikan masalah. Siapa yang paling cepat, dia berhak dapat reputasi dan bernilai tinggi.
Maka dari itu, jangan salah jika banyak lahir siswa yang juara kelas namun suka menyontek. Tidak semata-mata guru yang tersalahkan karena beberapa orangtua siswa juga membolehkan. Itu hanyalah tindakan kecil dari pencurian, namun akan senantiasa membesar jika dibiasakan.
Pendidikan Budi Pekerti Tidak Bisa Hanya Disekolahkan
Dulu di awal tahun 2000-an, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan serta Pendidikan Agama selalu menjadi momok bagi setiap siswa, terlebih lagi siswa SD. Jika nilai salah satunya "merah" maka secara otomatis siswa tidak akan naik kelas.
Siswa lebih rela nilai Matematika, IPA, bahkan IPS merah asalkan nilai PKN dan Agamanya mencapai KKM. Lalu, hasilnya? Siswa naik kelas dan seterusnya bisa sukses di masa depan. Tapi, para pencuri yang dulunya pernah sekolah tetap masih ada, bukan? Koruptor juga.
Dan hari ini, kurikulum sudah berubah judul dan isi dengan meninggikan karakter. Pengetahuan tuntas, keterampilan tuntas, sikap spiritual tuntas, dan sikap sosial tuntas. Akhirnya? Siswa lulus dengan penuh ketuntasan.
Tapi, apakah ketuntasan itu diikuti dengan sikap dan budi pekerti yang tuntas?
Mereknya boleh saja Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, tapi lagi-lagi ketuntasan cenderung didasarkan atas nilai pengetahuan. Walaupun namanya sikap, tapi masih saja diukur dengan pengetahuan. Berarti, namanya nilai pengetahuan tentang sikap, bukan?
Nilai sikap siswa A karena ia bisa menjelaskan pengertian mencuri hingga detail, cara-cara mencuri, dan mengisi tabel pengakuan diri tentang contoh sikap-sikap pencurian. Tapi, pensil siswa sebelah masih ada yang hilang dan sebagian siswa di kelas masih menyontek.
Lagi-lagi kurikulum yang dipersalahkan. Entah itu materinya kurang, KKM-nya terlalu tinggi, fasilitas belajar minim, sarana-prasarana belajar tidak memadai, hingga bolak-balik putar kebijakan semua terus didengungkan. Padahal, budi pekerti tidak bisa dikejar dengan kurikulum alias disekolahkan walau secanggih apapun.
Nilai Tertinggi dari Budi Pekerti