Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Ingin Menggapai Mimpi Sendiri atau Mimpi Orang Lain?

1 Januari 2020   13:47 Diperbarui: 1 Januari 2020   19:26 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap orang pasti punya mimpi. Entah itu mimpi saat tertidur maupun mimpi yang terlihat, rasanya akan begitu indah jika saja tercapai. Makanya tidak salah jika seseorang yang bermimpi indah saat tidur akan bangun dengan mood yang tinggi. Tidak salah juga jika seseorang mengamati mimpi indah yang terlihat, akan menggebu rasa optimisnya.

Semua telah mengarah kepada bayang, angan, kenangan, harapan, serta cita-cita tertinggi yang telah dicapai. Pendukungnya adalah rasa kurang puas terhadap apa yang didapat hari ini. Mengapa baru sebegini, dan apakah hanya sebegitu saja hasil yang bisa diraih.

Seorang guru, hari ini tentu punya mimpi untuk meraih pangkat/golongan tertinggi dalam jabatannya. Berikutnya ia mau menjadi kepala sekolah, pengawas, kepala dinas, lalu merangkap dosen. Jika sudah mencapai puncak, bisa saja segera mengajukan pengunduran diri untuk mencalon sebagai bupati atau gubernur.

Profesi lain juga demikian. Sekarang mungkin masih karyawan, tapi mimpinya beberapa tahun lagi bisa menjadi ketua sif, manager, direktur, hingga memiliki perusahaan sendiri. Tentu saja dibarengi dengan kesejahteraan hidup yang sentosa.

Ada pula yang menargetkan mimpi tertingginya adalah bisa mendirikan lapangan kerja sendiri hingga nanti ia cukup menjadi bosnya. Penjual gorengan misalnya, bermimpi untuk membuka cabang hingga seluruh desa dalam satu kabupaten. Penjual bakso dan sate juga demikian.

Jujur saja, mimpi seperti ini sungguh bermaslahat dan berpahala, karena membantu negeri untuk mengurangi para pengangguran.

Fenomena Rasa Cukup dengan Profesi "Biasa-Biasa Saja"

Dalam perjalanan, sejatinya mimpi indah tidak seindah kelihatannya. Tampaknya jalan itu lurus, eh tidak tahunya banyak gang-gang buntu serta aspal yang tidak rata karena ujian hidup. Perlahan, hal-hal seperti ini akan meruntuhkan motivasi dan rasa optimis yang selama ini diberangkatkan dari mimpi.

Darinya, sebagian orang yang merasa berat, susah dan tampaknya akan letih cenderung akan memberhentikan dirinya di persimpangan jalan. Merasa cukup dengan keadaan hari ini.

Bagi yang tadinya guru, rasanya sudah cukup dengan menjadi guru biasa sampailah pensiun. Yang penting bisa makan, anak bisa sekolah, dan sehat selalu.

Bagi yang tadinya karyawan, kiranya sudah cukup dengan menjadi karyawan biasa. Gaji dapat tiap bulan, lembur sesekali jika ada perintah, dan tidak terlalu banyak tuntunan dalam pekerjaan.

Bagi yang tadinya penjual gorengan, cicipnya sudah cukup dengan menjadi penjual gorengan biasa. Selama gorengannya masih ada pempek bulat dan isi, ada tahu dan tempe, risoles, goreng pisang dan ubi ungu rasanya sudah cukup. Pembeli pun senang.

Nyaman memang, tapi sadarkah kita? Di saat diri ini merasa cukup dan membatasi mimpi, kadang-kadang begitu ingin membandingkan diri dengan orang lain yang sudah keduluan menggapai mimpinya.

Enak ya, dia sudah jadi kepala sekolah, dulu kami satu kelas loh!
Bahagianya ia jadi kepala dinas. Pasti besar tuh gajinya. Jadi selera aku!
Wah, hebat ya dia sekarang sudah jadi direktur. Sudah punya rumah mewah pula. Hmm, aku tidak apa-apalah, seperti ini saja. Karyawan biasa pun sudah cukup!

Iri rasanya. Pasti ada gejolak hati yang berbisik "Kenapa aku tidak seperti dia, ya" yang cepat-cepat disingkirkan dari peredaran pikiran. Mau bagaimana lagi, usaha mereka yang tidak merasa cukup tentu lebih. Optimisnya juga lebih, dan mimpinya bukan sekadar bunga tidur, melainkan bunga kehidupan.

Mencukupkan diri, Sama Halnya dengan Menggapai Mimpi Orang Lain

Tanpa disadari, sikap merasa cukup dengan keadaan hari ini sama halnya dengan menggapai mimpi orang lain. Kerja bagus, masuk kerja terus, dan tidak pernah membuat masalah di tempat kerja. Siapa yang senang? Diri sendiri pasti senang, tapi bukankah lebih senang atasannya?

Tentu saja. Kinerja yang baik bahkan hebat dari seorang guru akan menghebatkan nama kepala sekolahnya. Kinerja yang mantap dari seorang karyawan akan menaikkan reputasi manager serta direkturnya. Cukupkah diri ini menjadi sosok yang "biasa-biasa" saja?

Perlu ditekankan di sini bahwa merasa cukup bukan berarti tidak bersyukur. Bersyukur dengan apa yang didapat hari ini adalah wajib, tapi merasa cukup terhadap apa yang diperbuat hari ini tanpa ada niat untuk lebih baik bukanlah makna dari syukur yang sesungguhnya.

Terang saja, jika tidak ada rasa ingin lebih baik dari hari ini apa gunanya hidup. Cukup hari ini, belum tentu cukup di hari esok. Orang bisa terus lebih dan lebih baik dari hari ini dengan cara bersyukur dan terus keluar dari zona nyaman serta menjemput kesukaran hidup.

Pohon saja yang tumbuhnya terhalang oleh batu, akan berbelok mencari gang lain. jika pohon tidak berbelok, ia tidak akan bertumbuh melainkan membusuk dan mati. Jika pohon itu mati, malahan menjadi pupuk bagi pohon sebelahnya untuk menggapai mimpi bertumbuh, berbunga, berbuah, dan berbiji.

Amanah adalah Peluang Menggapai Mimpi Sendiri

(itprotoday.com)
(itprotoday.com)
Sebenarnya, untuk apa bekerja mati-matian, kerajinan, dan tanpa celah? Tentu saja tidak sekadar untuk dapat gaji melainkan juga kepercayaan. Baik itu kepercayaan rekan kerja maupun pimpinan, sungguh sama pentingnya.

Kepercayaan akan melahirkan tawaran-tawaran amanah yang nantinya bisa jadi peluang untuk menggapai mimpi sendiri. Bekerjanya baik bahkan bagus, cerdas dalam menyelesaikan masalah serta tahan banting. Jika sudah demikian, bukankah akan ada tawaran untuk naik pangkat dan jabatan?

Tentu saja, peluang-peluang inilah yang bisa menjadi batu loncatan untuk menggapai mimpi sendiri. Lalu, bolehkah diambil?

Boleh saja, bahkan sangat boleh. Untuk apa harus takut mengemban amanah jika itu memang sesuai dengan bidang serta kemampuan diri. Bahkan ada lebih banyak orang mengambil amanah yang tidak sesuai dengan kemampuan dirinya. Hanya bermodal pencitraan dan uang.

Amanah seperti inilah yang mestinya ditakutkan. Terang saja, jika amanah yang diemban tidak sesuai dengan kemampuan dan kompetensi diri, bukankah hanya akan melahirkan khianat? Jika sudah khianat, akan ada pihak-pihak yang terzalimi. Boro-boro mau berkisah tentang mimpi, yang ada malah reputasi diri ini yang hancur. Belum lagi dengan azab di hari esok.

Jika amanah yang diemban sesuai dengan jerih payah, bidang, dan kemampuan diri seharusnya malah lebih mantap. Ide-ide yang lahir tentu akan lebih kreatif dan inovatif. Belajarnya pun enak, karena bekal kompetensi sudah mendarah-tulang.

Kalau peluang matang seperti ini segera ditolak, kapan lagi mau menggapai mimpi sendiri. Habis musim durian pun belum tentu kesempatan itu datang lagi. Adanya, malah mimpi orang lain yang tergapai dan orang lain yang makan durian. Hahaha

Terakhir, persoalan menggapai mimpi tidak lepas dari persaingan. Terang saja, jika semua dijadikan kepala sekolah siapa yang jadi gurunya. Jika semua jadi direktur dan manajer, siapa karyawannya. Dan jika semua dijadikan penjual gorengan, siapa pembelinya. Yang ada, nanti kepala sekolah dan direktur ikut-ikutan digoreng. Hahaha

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun