Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dari Sekian Buku dan Film, Mengapa Lebih Menarik Bahas Aib Orang?

29 Desember 2019   01:26 Diperbarui: 29 Desember 2019   23:59 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gibah Lovers. (Sumber: gulfnews.com)

"Gibah seakan lebih seru jika ramai yang nimbrung. Hingganya, terbentuklah perkumpulan yang disebut Gibah Lovers"

Begitu banyak buku, begitu banyak film, maka begitu banyak pula para pecintanya. Ada yang cinta buku T, yang dengan kecintaan itu ia kegilaan mengidolakan sosok pembuat buku. Ada pula yang suka sekali dengan buku U, hingganya setiap titik dan koma ia hafal.

Tidak terpungkiri memang, kecintaan dan kesukaan terhadap sebuah buku bisa merambat ke semua kalangan. Terlebih lagi jika tema atau bahasan buku itu sesuai dengan minat diri. Yang sedang gundah, membaca buku cinta. Para penggila ilmu, baca buku pengetahuan, buku lain pun sama.

Film juga demikian. Bisa kita lihat bagaimana sosok pecinta film Korea yang kehabisan tisu karena haru. Sosok pecinta film India juga sering tersedu-sedu sembari menanti episode tayang berikutnya.

Kita tidak bisa menutup mata dengan kesukaan mereka, meskipun kadang kita sendiri bingung, apa sih yang bagus dari film Korea, apa juga yang bagus dari buku T maupun buku U. Tentu saja ada sisi-sisi entah yang kurang bisa kita maknai.

Walau demikian banyaknya sosok pecinta buku dan film, adakalanya orang-orang meninggalkan apa yang mereka cintai hanya untuk membicarakan aib. Sebegitu menariknya aib itu?

Fenomena Gibah Lovers

Membicarakan aib orang, atau yang kita kenal sebagai gibah seakan sudah menjadi kebiasaan bagi banyak orang. Tidak kenal tempat, bahkan tidak kenal situasi sedang genting maupun sedang rapat, tetap saja ada gerombolan orang yang mulai mengumpat.

Bahkan teman saya, Anton tidak segan-segan menyebutnya Gibah Lovers. Terkesan lucu memang, walau harusnya itu gelar yang menusuk, tidak juga kunjung peka.

Yang terang-terangan biasanya kaum wanita, namun ada pula kaum laki-laki yang bergelap-gelapan gibah ria. Tampaknya biasa-biasa saja, padahal gibah itu adalah perbuatan tercela.

Hebatnya, topik tentang gibah selalu ada dan bertumbuh. Habis cerita tentang orang dekat, pindah ke orang jauh, bahkan orang yang sudah meninggal pun ikut-ikutan diungkit. Bayangkan saja jika terdengar, jangan-jangan bisa bangkit dari kubur? Wuhuhuhu

Selain itu, topik-topik para gibah lover sering pula berangkat dari hal-hal yang positif. Tentang seseorang yang sudah dapat kerja misalnya. Awalnya dipuji, dibanggakan, "Wah, syukur deh dia sudah dapat kerja. Memang layak ia mendapatkannya!"

Tapi, belum dua menit berlalu, topik pun berubah "Eh, dia itu meski sudah dapat kerja, tapi dulunya nakal loh. Sering keluar malam, tidak keruan bermain entah ke mana. Ahh, macam-macam lah!"

Akhirnya, topik pembicaraan yang awalnya baik malah berubah menjadi biang dosa dan meresahkan. Hal ini tentu akan merambat jika mereka yang duduk berdekatan mendengar pembicaraan itu mempunyai keluh dan masalah yang sama. Memanjang dan terus melebar ke mana-mana.

Mulai kesal dan merasa gibah? Kreatifnya, beberapa Gibah Lovers sengaja memoles kalimat-kalimat gibah agar tidak langsung mengarah kepada oknum-oknum gibah tertentu. Caranya?

Saat berbicara sering menggunakan penekanan kalimat "Eh, itu terjadi di sana ya, tidak di sini. Jauh di sana!", dan setelah itu, lanjut lagi bergibah ria.

Jika sudah seperti ini, tampaknya fenomena gibah lover sulit untuk disingkirkan. Terang saja, gibah sangat dekat dengan kita dan kita juga sangat mudah terpengaruh, jika tidak kuat iman.

Gibah Lover, Bisakah Diberantas?

Sejatinya permasalahan gibahs sangat dekat dengan kita. Tidak zaman dahulu tidak pula zaman kini, para Gibah Lovers terus upgrade dan berevolusi.

Yang awalnya hanya duduk bersama, bergerombol dan mencolok sekarang sudah agak kalem dengan bergibah sembari memegang HP. Tidak kelihatan memang, apakah itu sedang gibah atau sedang swipe up snap. Atau, malah sibuk cari tema di Medsos untuk dijadikan topik gibah? Wah, benar-benar Gibah Lovers!

Padahal, aib merupakan perilaku tercela yang merugikan orang lain. Terang saja, aib sudah disimpan rapat-rapat bahkan oleh Tuhan, tetapi kemudian diungkit dan dipanas-panaskan lagi. Orangnya sudah move on, sudah berubah menjadi sosok yang lebih baik, tetapi malah diungkap lagi?

Tidak semata-mata malu melainkan berusaha memalukan dan kurang kerjaan. Terlebih lagi aib itu adalah kekejian yang sejatinya merupakan keburukan diri sendiri, pasti ada rasa bersalah yang besar, walaupun itu hanya bekas penyesalan.

Kalau memang sudah bertajuk kemungkaran dan merugikan orang banyak, sebenarnya tidak terlalu bermasalah karena kemungkaran harus dibasmi. Seperti halnya koruptor, perampok, serta pembunuh. Itu bukanlah aib bagi pelaku melainkan keburukan yang harus diberantas.

Beda hal dengan kejelekan diri, cacat fisik, kelainan seks, penyakit yang pernah diderita, atau keburukan-keburukan lainnya. Aib ini semestinya jangan diungkap, melainkan dimaklumi dan diakui sebagai perbedaan lagi. Yuup, toleransi.

Untuk memberantas topik-topik aib para Gibah Lovers, rasanya sang pelaku harus terlebih dahulu takut dan merenungkan hukum Tuhan terkait dengan gibah. Dalam hal ini, Allah berkalam:

"...Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya..." (QS al-Hujurat:12)

Bisa dibayangkan sendiri bagaimana rasanya memakan bangkai manusia. Bangkai binatang saja, kita melihatnya sudah mau muntah, apalagi bangkai saudara?

Sungguh, tegas sekali Tuhan menegur para Gibah Lovers dengan menyamakan perbuatan mereka dengan memakan bangkai. Membayangkannya saja sudah sangat jijik, apalagi bergibah sambil membayangkan teguran Allah? Ngeri!

Kemudian, kita juga harus belajar untuk berempati. Merasakan apa yang dirasakan orang lain. Orang lain dihina, maka cobalah untuk menganggap diri ini juga hina. Jika hati ini masih sehat, maka akan terasa sangat sakit sekali, dan tentunya sangat tidak ingin untuk berada di posisi tergibah.

Terakhir, kita bisa berangkat dari pujian, dan senantiasa membicarakan kebaikan orang lain. Tanpa sadar banyak orang memuji diksi buku, inspiratif buku, kebagusan film Korea, India, Anime dan sebagainya.

Saking seringnya memuji, mereka sampai lupa sisi buruk dari buku, dari tokoh utama sebuah film, maupun kelejekan makna kata-kata yang terselip dalam film. Makin kagum makin jarang waktu untuk membicarakan aib. Jangankan mau memanjangkan topik aib, baru mulai saja sudah digampar.

Coba saja diksi buku serta film-film tadi diganti dengan kekaguman tentang kebaikan orang lain. Hati pasti akan bertumbuh dan kesempatan untuk bergabung dengan pasukan Gibah Lovers semakin tertutup.

Maka darinya, tidak mengapa untuk bertindak tegas terhadap para Gibah Lovers dengan memberhentikan cerita/topik tentang aib. Sungguh, itu adalah keburukan yang nyata.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun