Berpikir Global Bertindak Lokal
Guru boleh mengajar sekolah pelosok, namun pemikirannya jangan pelosokan. Sudah sekolahnya pelosok, harapannya rendah, pemikirannya sempit, kemudian terus-menerus berkeluh, apakah tidak semakin menderita?
Biarlah jadi kucing yang makannya pucuk ubi rebus namun terus mengejar ikan mujair, daripada harus jadi elang yang hanya mencukupkan dirinya untuk makan bangkai ayam tanpa mau terbang mengejar tupai gemuk.
Sekolah boleh pelosok, listrik boleh tak ada, tapi tidak dengan pemikiran. Pandangan guru harus global dan berkemajuan. Bukan berarti tidak bisa mengamati sesuatu jika tak ada infokus. Bisa dengan cara lain seperti berkeliling di dekat sekolah dan mengamati benda atau sesuatu yang bernilai edukasi.
Seperti itulah pemikiran global namun bertindak lokal. Artinya, pemikirannya terus untuk kemajuan dengan berinovasi sesuai dengan keadaan dan kesanggupan lokal.
Bangun Nilai, Bukan Paksakan Kurikulum
Jika buku revisi tak kunjung tiba dan surat undangan untuk sosialisasi kurikulum belum bertamu, maka tidak bisa seorang guru terus-menerus memaksa kurikulum dan menghabiskan ratusan halaman buku satu per satu.
Akan percuma jika anak-anak pintar dan hafal isi buku jika tidak ada nilai yang tertinggal dan merekat di hati dan perilaku mereka. Sejujurnya, kita begitu sakit melihat kenyataan bahwa saat ini generasi penerus bangsa semakin bobrok nilainya.
Secara akademis mungkin tinggi, tapi secara akhlak, moral, dan etika mereka hancur. Orang berpendidikan tapi tak punya adab. Artinya percuma, karena tak akan ada satupun orang yang menghargainya.
Di sinilah pentingnya seorang guru dalam mengajar, yaitu dengan membangun nilai dan karakter anak untuk menjadi pribadi yang hebat dan keren dari sisi adab dan moralitas. Ilmu bisa dicari, namun pembiasaan adab tidak semudah kelihatannya.
Kurikulum memang mengajarkan nilai, tapi itu teorinya. Setiap anak mungkin hafal pengertian jujur, tapi tidak dengan pembuktian perilakunya sehari-hari. Ini menjadi krusial dan harus ada pembenahan secara mendesak.