Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Fenomena Takut Salah, Kapan Akan Berakhir?

5 November 2019   10:55 Diperbarui: 6 November 2019   20:52 797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Takut Salah. (Tempo.co)

Ada dua prinsip besar yang melingkupi banyak orang dari berbagai jenis umur. Tidak tahu pasti bagaimana kedua prinsip ini bertumbuh. Bisa jadi itu berawal dari kebiasaan dan ajaran orangtua, pengaruh teman dan guru, pengaruh lingkungan atau bahkan kondisi geografis wilayah.

Pertama: "Kalau orang lain bisa, aku juga harus bisa!"
Kedua: "Kalau masih ada orang lain, kenapa harus aku?"

Dari keduanya, manakah kiranya yang dominan?

Agaknya orang lebih banyak menganut prinsip kedua, yaitu membiarkan orang lain melakukan sesuatu hal lebih dulu. Ibarat mau masuk jurang, biarkan orang lain masuk duluan. Selama masih ada orang lain alias pengganti, maka selama itulah mereka belum akan turun tangan.

Namun, dasar jurang tidak melulu tentang batu terjal, kalajengking, serta ular kobra bukan? Entah isinya adalah kepingan emas, barang antik, atau bahkan air yang menyegarkan, semuanya bisa menjadi baik selama tawarannya baik.

Apa inikah yang dinamakan melarikan diri dari kenyataan? Mungkin saja, dan tepatnya bisa saja. Lagi-lagi ini berawal dari perasaan takut salah. Belum buru-buru mau menganggap "tidak bisa", karena nyatanya orang yang takut belum tentu salah sepenuhnya.

Takut Karena akan Dihukum, atau Belum Mau Mencoba?

Jika sedari anak-anak kita sudah takut akan salah, berarti yang menanamkan virus itu adalah orangtua dan guru. Orangtua yang terbiasa menghukum anak jika melakukan kesalahan, atau bahkan mempermalukan anak yang salah di muka umum secara tidak langsung sudah mengubah prinsip anak.

Positifnya memang ada, yaitu anak akan berusaha untuk belajar agar tidak salah. Tapi kan anak adalah biangnya salah? Kita juga, orangtua juga, semua juga pernah salah. Kesalahan bukanlah dosa besar selama belum keluar dari syariat.

Tapi, akan bahaya jika anak tidak mau lagi mencoba sesuatu karena takut salah, apalagi jika mereka sudah keduluan pesimis menebak hasilnya. Padahal belum tentu bukan?

Sering kali ini berawal dari hal-hal sederhana seperti salah taruh sapu setelah bersih-bersih rumah, salah taruh piring selepas dicuci, serta salah menggunakan baju untuk main bersama teman.

Terkait semua hal ini, rasanya anak-anak sedang belajar untuk berinovasi dengan mencoba menerka sendiri hal-hal yang belum mereka ketahui aturannya secara formal.

Namun, bagaimana jika inovasi mereka selalu menjadi sesuatu yang tersalahkan dan umpan marah?

Anak akan takut melakukan sesuatu yang mungkin menurut pandangannya baik. anak juga takut mencoba sesuatu hal yang baik. Ngerinya, hal ini akan bertumbuh hingga anak-anak dewasa dan menjadi prinsip hidup.

Begitu pula dengan virus-virus takut salah yang disebarkan oleh sebagian guru. Lagi-lagi ini hanya berangkat dari hal-hal sederhana seperti memarahi anak yang salah saat menjawab pertanyaan pre-test serta memaki saat pendapat anak dianggap jauh dari harapan guru.

Jika masih ditemukan guru yang seperti ini, harus ada pertanyaan dasar bahwa apa sebenarnya yang guru inginkan dari siswa. Mau dengar pendapat, khayalan anak, pengalaman anak, atau kebenaran mutlak?

Jika sekadar mau benar, biarkan saja sejenak anak berkunjung ke mbah Google? Mbah Google memang begitu baik sehingga semua dari kita ia anggap cucu. Haha.

Tapi apakah jawaban tekstual dan hafalan seperti itu yang diharapkan guru? Tentu saja tidak bukan? Setidaknya ada bau kontekstual, komunikasi, inovasi, kritis, serta mengarah pada problem solving.

Jika terus seperti ini maka wajar saja di hari esok suasana kelas semakin sepi. Anak yang takut salah kedepannya tidak mau lagi mencoba. Walaupun hanya sekadar unjuk tangan dan meski jawaban mereka benar sekalipun, mereka lebih takut salah.

Mirisnya, kebiasaan seperti ini akan menular hingga dewasa. Buktinya? Lihat saja rekan kita yang hanya sekadar tanda tangan absen, kemudian duduk diam dapat duit. Lihat juga suasana parlemen yang dijuluki rajanya diam.

Apakah mereka takut salah? Agaknya mereka sudah keberatan gelar dan malas mikir.

Apresiasi Bukan Sekadar Benar atau Salah
Untuk meninggikan prinsip "jika orang lain bisa, aku harus bisa!" maka harus ada perubahan berarti yang tidak sekadar bicara benar atau salah. Terlalu teoritis rasanya jika semua hal-hal yang berbau pengembangan selalu dihubungkan dengan benar-salah.

Sejatinya, yang bahaya bukanlah kesalahannya, melainkan ketakutan-ketakutan akan kesalahan. Padahal, sesuatu yang salah bisa diperbaiki agar menjadi benar. Hanya butuh pelurusan makna dan polesan kata maaf atau senyum untuk melicinkannya. Lagi-lagi kita tak perlu keduluan takut.


Untuk menghapus jejak takut, kita harus terus melangkah dalam jalan-jalan positif dan melupakan berbagai macam ketakutan-ketakutan hidup. Keraguan juga harus dihapuskan. Kalau suatu pikiran berangkat dari keraguan, maka makin kita berpikir kita akan makin ragu. Toh ujung-ujungnya takut lagi bukan?

Kebenaran bukanlah segalanya. Apalagi jika itu hanyalah kebenaran teori yang sejatinya hanya berdalil dengan sesuatu yang empirik saja. Bukan berarti kita harus selalu salah ataupun selalu benar. Kita hanya harus menghapus orientasi-orientasi jadul seperti itu.

Maka dari itulah, penting bagi orangtua dan guru untuk senantiasa memberikan apresiasi positif kepada anak-anak atas perbuatan-perbuatan baik serta berani yang dilakukannya. Tentu saja masih dalam ranah positif dan menghasilkan maslahat.

Guru harus bangga dengan anak yang berani unjuk tangan tinggi-tinggi untuk beropini. Nanti dulu urusan benar-salah, yang penting keberanian (positif). Jikapun nanti jawaban atau opini anak masih salah dalam ukuran teori, tetaplah diapresiasi.

Meskipun sekadar bilang "wah, sedikit lagi nak!", "hampir benar!", "kereeen", atau hanya mengancungkan jempol, tetap saja itu adalah apresiasi yang sangat berharga bagi anak. Anak tidak akan malu untuk menjawab dan beropini di kemudian hari, karena mereka merasa dihargai.

Jika sedari dini dipupuk seperti ini, maka akan berkuranglah populasi manusia yang meninggikan fenomena takut salah.

Orangtua pasti senang jika anaknya mau mencoba sesuatu yang inovatif. Guru pasti senang jika murid-muridnya berani unjuk tangan tinggi-tinggi untuk beropini.

Bahkan, presiden pun pasti senang jika anggota dewan aktif mengemukakan opini yang berkemajuan dan positif.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun