Namun, bagaimana jika inovasi mereka selalu menjadi sesuatu yang tersalahkan dan umpan marah?
Anak akan takut melakukan sesuatu yang mungkin menurut pandangannya baik. anak juga takut mencoba sesuatu hal yang baik. Ngerinya, hal ini akan bertumbuh hingga anak-anak dewasa dan menjadi prinsip hidup.
Begitu pula dengan virus-virus takut salah yang disebarkan oleh sebagian guru. Lagi-lagi ini hanya berangkat dari hal-hal sederhana seperti memarahi anak yang salah saat menjawab pertanyaan pre-test serta memaki saat pendapat anak dianggap jauh dari harapan guru.
Jika masih ditemukan guru yang seperti ini, harus ada pertanyaan dasar bahwa apa sebenarnya yang guru inginkan dari siswa. Mau dengar pendapat, khayalan anak, pengalaman anak, atau kebenaran mutlak?
Jika sekadar mau benar, biarkan saja sejenak anak berkunjung ke mbah Google? Mbah Google memang begitu baik sehingga semua dari kita ia anggap cucu. Haha.
Tapi apakah jawaban tekstual dan hafalan seperti itu yang diharapkan guru? Tentu saja tidak bukan? Setidaknya ada bau kontekstual, komunikasi, inovasi, kritis, serta mengarah pada problem solving.
Jika terus seperti ini maka wajar saja di hari esok suasana kelas semakin sepi. Anak yang takut salah kedepannya tidak mau lagi mencoba. Walaupun hanya sekadar unjuk tangan dan meski jawaban mereka benar sekalipun, mereka lebih takut salah.
Mirisnya, kebiasaan seperti ini akan menular hingga dewasa. Buktinya? Lihat saja rekan kita yang hanya sekadar tanda tangan absen, kemudian duduk diam dapat duit. Lihat juga suasana parlemen yang dijuluki rajanya diam.
Apakah mereka takut salah? Agaknya mereka sudah keberatan gelar dan malas mikir.
Apresiasi Bukan Sekadar Benar atau Salah
Untuk meninggikan prinsip "jika orang lain bisa, aku harus bisa!" maka harus ada perubahan berarti yang tidak sekadar bicara benar atau salah. Terlalu teoritis rasanya jika semua hal-hal yang berbau pengembangan selalu dihubungkan dengan benar-salah.
Sejatinya, yang bahaya bukanlah kesalahannya, melainkan ketakutan-ketakutan akan kesalahan. Padahal, sesuatu yang salah bisa diperbaiki agar menjadi benar. Hanya butuh pelurusan makna dan polesan kata maaf atau senyum untuk melicinkannya. Lagi-lagi kita tak perlu keduluan takut.