Untuk menghapus jejak takut, kita harus terus melangkah dalam jalan-jalan positif dan melupakan berbagai macam ketakutan-ketakutan hidup. Keraguan juga harus dihapuskan. Kalau suatu pikiran berangkat dari keraguan, maka makin kita berpikir kita akan makin ragu. Toh ujung-ujungnya takut lagi bukan?
Kebenaran bukanlah segalanya. Apalagi jika itu hanyalah kebenaran teori yang sejatinya hanya berdalil dengan sesuatu yang empirik saja. Bukan berarti kita harus selalu salah ataupun selalu benar. Kita hanya harus menghapus orientasi-orientasi jadul seperti itu.
Maka dari itulah, penting bagi orangtua dan guru untuk senantiasa memberikan apresiasi positif kepada anak-anak atas perbuatan-perbuatan baik serta berani yang dilakukannya. Tentu saja masih dalam ranah positif dan menghasilkan maslahat.
Guru harus bangga dengan anak yang berani unjuk tangan tinggi-tinggi untuk beropini. Nanti dulu urusan benar-salah, yang penting keberanian (positif). Jikapun nanti jawaban atau opini anak masih salah dalam ukuran teori, tetaplah diapresiasi.
Meskipun sekadar bilang "wah, sedikit lagi nak!", "hampir benar!", "kereeen", atau hanya mengancungkan jempol, tetap saja itu adalah apresiasi yang sangat berharga bagi anak. Anak tidak akan malu untuk menjawab dan beropini di kemudian hari, karena mereka merasa dihargai.
Jika sedari dini dipupuk seperti ini, maka akan berkuranglah populasi manusia yang meninggikan fenomena takut salah.
Orangtua pasti senang jika anaknya mau mencoba sesuatu yang inovatif. Guru pasti senang jika murid-muridnya berani unjuk tangan tinggi-tinggi untuk beropini.
Bahkan, presiden pun pasti senang jika anggota dewan aktif mengemukakan opini yang berkemajuan dan positif.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H