Lagi-lagi ini bukan salah medsos, karena jelas sang perakit buku 99 Cahaya di Langit Eropa inilah yang mulai duluan.Â
Terang saja, sebagai sosok orang yang tinggi pamornya, ia malah memposting tulisan berupa tuduhan bahwa kejadian yang dialami Menko Polhukam ini hanyalah bentuk cari perhatian dan settingan agar dana deradikalisasi terus mengucur.
Benar saja, cuitan ini secara tidak langsung adalah salah satu bentuk tindakan tidak beradab yang memancing para netizen untuk ikut-ikutan tidak beradab. Wiranto yang sejatinya adalah korban kebiadaban malah menjadi awal dari keributan di Medsos.
Bercuitanlah dengan Beradab
Walaupun pada kamis (10-10-2019) malam sang pemancing kerusuhan sudah menghapus cuitan kontroversialnya seraya berdalih "Duh, postingan saya terhapus!", tetap tak segera menghilangkan kerusuhan di medsos. Bahkan, kesan tak beradab yang sudah dilakukan akan terus terkenang dan bisa saja suatu saat akan viral lagi.
Kesan tak beradab ini pula yang akan melahirkan ketidakterimaan netizen dan masyarakat tentang permintaan maaf yang seseorang ucap kemudian. Bahkan, netizen tidak perlu memandang kemuliaan profesinya, kebagusan karyanya, serta kelakuan baik ia selama ini.
Semua hanya gara-gara cuitan sederhana yang hanya perlu dirakit selama 1-2 menit. Jujur saja, sekarang orang-orang lebih mudah sakit karena postingan daripada dipukul langsung. Ibaratkan darah yang mengalir, sebuah postingan akan dengan cepatnya menyebar ke seluruh tubuh negeri ini.
Jika cuitan itu baik, maka kebaikanlah yang bertebaran. Tapi jika cuitan itu adalah keburukan, fitnah, dan pemancingan kerusuhan, maka musibah yang akan datang.
Maka darinya, kita perlu adab dalam bercuit. Berbagai postingan dalam bentuk perkataan, opini, sugesti, sosialiasi maupun penegasan terhadap suatu peristiwa haruslah dalam jangkauan yang beradab.
Sama sekali tidak ada "seni untuk bertindak masa bodoh" dalam perkara ini, karena medsos tetap menjamah seluruh lapisan masyarakat, bahkan bisa lebih peduli dibandingkan masyarakat kota saat ini.
Karena persepsi negatif tidak memandang kemuliaan profesi, maka kita harus meninggikan adab dibandingkan ilmu. Artinya, untuk mendapatkan ilmu kita harus lebih dulu berbudi, berakhlak, dan bersopan santun terhadap ilmu.
Misalnya, kita ingin menuntut ilmu dan bercita-cita untuk menjadi dokter. Sebelum memakan semua mata pelajaran dan buku-buku tentang dokter kita perlu belajar adab, agar saat makan ilmu-ilmu kedokteran kita tidak tersedak oleh tulang keserakahan, nafsu, dan sifat kebinatangan.