Lagi-lagi ini hanya mengumbar masalah klasik, namun terus-menerus viral. Pelanggaran adab hari ini selalu berputar-putar pada persoalan moralitas, asusila, cacian, umpatan, makian, dan hal-hal seiras darinya.
Padahal, pelaku pelanggaran adab bukannya orang yang tak berilmu, dan bukan pula orang yang tidak pernah diajari adab. Punya gelar S-1, S-2, S-3, bahkan profesi kedokteran, tetapi kelakuannya lebih rendah dari pada anak usia TK. Semua kenyataan ini seakan-akan membuat mereka seperti "keberatan gelar."
Pelanggaran Adab Lebih Banyak Terjadi di Medsos
Fakta yang tak perlu survei sana-sini membuktikan bahwa pelanggaran-pelanggaran tentang adab sangat banyak terjadi di Medsos. Entah karena lebih mudah dilakukan atau malah lebih banyak yang melihat, hingga Medsos dijadikan lahan utama menumpuk dosa.
Salah satu contohnya adalah pemberitaan terkait duka Wiranto yang ramai di Twitter mulai dari kamis sore hingga malam ini.Â
Di awal-awal pemberitaan, media televisi dan situs-situs resmi tampak menjujung tinggi adab dengan menayangkan bentuk kepedulian mendalam atas musibah yang dialami Wiranto.
Mulai dari berkirim doa, ingin mengajak lapisan masyarakat untuk ikut mendoakan kesembuhan Wiranto, memerintahkan untuk mengusut tuntas musibah "mendadak" ini, hingga menguak fakta atas semakin menguatnya radikalisme di Indonesia.
Tentu saja netizen yang membacanya ikut-ikutan menjadi beradab dan senantiasa berkirim doa untuk tokoh bangsa yang terkena musibah.Â
Berawal dari pancing-memancing dengan tagar di Medsos, akhirnya semakin banyaklah kucuran doa yang mengalir dengan ikhlas untuk Wiranto, termasuklah Presiden Jokowi dan tokoh-tokoh bangsa lainnya.
Namun perubahan besar di Medsos bertajuk pelanggaran adab mulai terjadi beberapa jam kemudian. Berawal dari cuitan kontroversial mantan Presenter di Trans TV yang sekarang sudah mendapat gelar dokter gigi, medsos kembali meninggikan postingan-postingan tidak beradab.
Lagi-lagi ini bukan salah medsos, karena jelas sang perakit buku 99 Cahaya di Langit Eropa inilah yang mulai duluan.Â
Terang saja, sebagai sosok orang yang tinggi pamornya, ia malah memposting tulisan berupa tuduhan bahwa kejadian yang dialami Menko Polhukam ini hanyalah bentuk cari perhatian dan settingan agar dana deradikalisasi terus mengucur.
Benar saja, cuitan ini secara tidak langsung adalah salah satu bentuk tindakan tidak beradab yang memancing para netizen untuk ikut-ikutan tidak beradab. Wiranto yang sejatinya adalah korban kebiadaban malah menjadi awal dari keributan di Medsos.
Bercuitanlah dengan Beradab
Walaupun pada kamis (10-10-2019) malam sang pemancing kerusuhan sudah menghapus cuitan kontroversialnya seraya berdalih "Duh, postingan saya terhapus!", tetap tak segera menghilangkan kerusuhan di medsos. Bahkan, kesan tak beradab yang sudah dilakukan akan terus terkenang dan bisa saja suatu saat akan viral lagi.
Kesan tak beradab ini pula yang akan melahirkan ketidakterimaan netizen dan masyarakat tentang permintaan maaf yang seseorang ucap kemudian. Bahkan, netizen tidak perlu memandang kemuliaan profesinya, kebagusan karyanya, serta kelakuan baik ia selama ini.
Semua hanya gara-gara cuitan sederhana yang hanya perlu dirakit selama 1-2 menit. Jujur saja, sekarang orang-orang lebih mudah sakit karena postingan daripada dipukul langsung. Ibaratkan darah yang mengalir, sebuah postingan akan dengan cepatnya menyebar ke seluruh tubuh negeri ini.
Jika cuitan itu baik, maka kebaikanlah yang bertebaran. Tapi jika cuitan itu adalah keburukan, fitnah, dan pemancingan kerusuhan, maka musibah yang akan datang.
Maka darinya, kita perlu adab dalam bercuit. Berbagai postingan dalam bentuk perkataan, opini, sugesti, sosialiasi maupun penegasan terhadap suatu peristiwa haruslah dalam jangkauan yang beradab.
Sama sekali tidak ada "seni untuk bertindak masa bodoh" dalam perkara ini, karena medsos tetap menjamah seluruh lapisan masyarakat, bahkan bisa lebih peduli dibandingkan masyarakat kota saat ini.
Karena persepsi negatif tidak memandang kemuliaan profesi, maka kita harus meninggikan adab dibandingkan ilmu. Artinya, untuk mendapatkan ilmu kita harus lebih dulu berbudi, berakhlak, dan bersopan santun terhadap ilmu.
Misalnya, kita ingin menuntut ilmu dan bercita-cita untuk menjadi dokter. Sebelum memakan semua mata pelajaran dan buku-buku tentang dokter kita perlu belajar adab, agar saat makan ilmu-ilmu kedokteran kita tidak tersedak oleh tulang keserakahan, nafsu, dan sifat kebinatangan.
Sudah banyak fakta yang kita jumpai tentang orang yang profesinya mulia tetapi perilakunya tak beradab. Profesinya guru tapi cabul, profesinya dokter tapi sering buka malpraktik, profesinya menteri tapi korupsi.
Padahal semua profesi itu mulia, bahkan karena kemuliaan itu bisa mengantarkan seseorang ke tingkat kehidupan yang lebih baik saat hidup di dunia. Bahkan, jika senantiasa bekerja secara tulus, ikhlas, dan hanya mengharapkan ridha Tuhan semata, maka surgalah jaminannya.
Untuk itulah kita perlu mendahulukan adab daripada ilmu, termasuk dalam bercuitan di Medsos. Karena sejatinya, kita lebih membutuhkan orang-orang yang beradab, meskipun jumlahnya hanya sedikit.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H