Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan featured

Kesaktian Pancasila di Tengah Kesakitan Generasi Muda Milenial

1 Oktober 2019   20:09 Diperbarui: 1 Oktober 2021   07:09 1283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelajar SMAN Bangsal Mojokerto Saat Mengikuti Upacara Hari Kesaktian Pancasila. (inilahmojokerto.com)

Agaknya, peringatan Hari Kesaktian Pancasila tahun ini tidak begitu heboh dan antusias. Beberapa kali kita renungkan, semakin ke sini ternyata semakin menyentuh kewajaran. Kesaktian Pancasila seakan ditutupi dengan kabut emosi seiring dengan sibuk dan ramainya negeri ini.

Politisi? Mungkin sibuk mengamati Senayan dan sepak terjang anggota Dewan sembari mencari-cari hal unik darinya.
Mahasiswa? Mungkin sibuk berkoar menyuarakan hak rakyat.
TNI/POLRI? Mungkin sibuk memagari negeri dari kekacauan.
Masyarakat? Mungkin sibuk memungut tangisnya sendiri sambil melawan pedihnya bencana.

Generasi Muda? Tidak sibuk-sibuk amat. Mungkin malah senang dan berharap pulang cepat karena guru-guru akan mengikuti upacara peringatan Kesaktian Pancasila.
Lalu mereka sibuk apa? Rasanya dari malam tadi mereka sibuk chat teman-teman sambil main game online. Paling hanya ada satu atau dua yang share tulisan dan snap-snap tentang Pancasila.

Agak miris kiranya momentum Kesaktian Pancasila hanya dijadikan sebagai ajang ingat tragedi dan duka, atau bahkan sekadar ajang mendengar amanat "orang penting" saat upacara. Terang saja, peserta upacara yang menyimak amanat hanya beberapa persen saja. Sisanya? Yang penting hadir. Hmmm.

Terlebih lagi jika mulainya ngaret. Peserta upacara lebih menyimak panasnya matahari sembari berdoa "cepatlah selesai!" dari pada harus fokus mendengar amanat. Kegiatan sakral yang mestinya disambut dengan harapan cerah, malah diselipkan dihujani dengan gerimis-gerimis antipati.

Itu masih di kalangan pejabat, pegawai, serta karyawan-karyawan kantor. Bagaimana jika siswa sebagai generasi muda bangsa yang menjadi pesertanya?

Jujur saja, kita sangat khawatir jangan sampai ideologi Pancasila dirasuki dengan paham-paham komunis seperti yang dikatakan Anies Baswedan. Maka dari itulah Anies berpesan agar masyarakat dapat terus menghadirkan nilai-nilai Pancasila.

Kita tentu sangat setuju dengan ini. Akan sangat baik jika momentum Kesaktian Pancasila dijadikan mesin pemacu agar masyarakat terus dan tetap menghadirkan nilai-nilai Pancasila. Namun, lagi-lagi kita memiliki ketakutan yang lebih besar terhadap generasi muda.

Terus terang saja, jika kita menyampaikan nasihat kepada masyarakat sebagai orang dewasa, tentu mereka akan berpikir dua kali untuk menerimanya. Bisa jadi mereka punya tanggapan yang berbeda, atau malah punya urgensi masing-masing untuk menetapkan mana yang lebih penting.

Dari perbedaan-perbedaan itu, tentu kita tak perlu berdebat berkepanjangan karena memang semuanya mengarah kepada satu tujuan, yaitu kembali kepada Pancasila. Hanya pendekatan dan sudut pandangnya saja yang berbeda.

Tapi jika nasihat ini sampai di telinga generasi muda, akan lain ceritanya. Mereka mungkin sudah sangat hafal dengan Pancasila, bahkan anak kelas 1 SD pun sudah lancar dan hafal. Tapi, apakah mereka sudah tahu maknanya?

Sungguh, banyaklah dari mereka yang hafal Pancasila bahkan bisa memaknai setiap sila-silanya, namun perilakunya malah membuat Pancasila kian kesakitan.

Adab, Moral, Akhlak Generasi Muda Menyakitkan Pancasila

Jika adab, moral, dan akhlak yang bertentangan dengan Pancasila dimiliki oleh beberapa orang dewasa, maka akan susah mengubahnya. Menasihati mereka hanya akan melahirkan perdebatan panjang, karena mereka merasa lebih berilmu dari kita. Hanya tauladan, doa, dan hidayahlah yang akan mengubah mereka. Itupun jika Tuhan berkehendak.

Tapi, jika generasi muda yang perilakunya menyakitkan Pancasila maka masih bisa kita ubah, dan harus kita ubah. Jika tidak diubah, bahayanya perilaku mereka akan mendarah tulang hingga dewasa, dan akhirnya semakin keras untuk bisa diubah.

Misalkan dari sisi kemanusiaan, yaitu tentang adab siswa terhadap guru dan sesamanya. Terang saja, adab siswa milenial berbanding terbalik hingga tertumpah jika dibandingkan dengan siswa pra-milenial.

Padahal, guru masa sekarang lebih lunak dalam berbagi ilmu dengan harapan agar hati siswa tersentuh, dan tumbuh karakter Pancasila dari kelembutan sikap tersebut.

Siswa tak beradab. (suratkabar.id)
Siswa tak beradab. (suratkabar.id)

Namun kenyataannya malah berbalik. Siswa malah kian tak beradab kepada guru. Ada yang berani memaki gurunya, melempar kertas, bermain sepeda di dalam kelas, hingga mem-bully gurunya. Itu baru berhadapan dengan guru, apalagi dengan siswa. Bisa-bisa ada siswa yang terbunuh karenanya.

Semua itu bukan semata-mata salah guru. Bukan pula gurunya yang kurang tegas di dalam kelas. Bukan pula gurunya yang terlalu lembut. Tapi, siswa-siswanya yang sudah keterlaluan. Padahal siswa sekarang dan dahulu sama-sama makan nasi.

Dulu, metode rewards and punishment sangat manjur dalam membentuk karakter dan adab siswa. Tak tanggung-tanggung, punishment-nya benar-benar berbekas di badan siswa. Sekarang, metodenya PAIKEM (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efisien, dan Menyenangkan) tapi siswanya malah menyakitkan bahkan melukai nilai Pancasila.

Adab, moral, dan akhlak mereka semakin keluar dari Pancasila. Sungguh, ini adalah masalah yang sangat serius untuk kita hadapi bersama. Tidak untuk guru saja, melainkan untuk semua kalangan.

Tidak terpungkiri bahwa banyak guru, termasuklah saya sendiri sangat tertekan dengan pembatasan pemberian hukuman kepada siswa. Walaupun Mendikbud membolehkan menghukum siswa secara "mendidik", tetap saja sudah banyak kasus guru-guru yang terpanggil oleh polisi.

Sebenarnya bukan takut, lebih tepatnya guru ingin "merasa aman" dalam mendidik para generasi muda. Apalagi jika sudah menyangkut soal nilai-nilai Pancasila. Tidak akan pernah cukup dan bermakna jika Pancasila diajar dengan cara mencatat, menghafal, dan memahami.

Bahkan, di zaman sekarang ini tidak cukup mendidik siswa hanya dengan nasihat-nasihat lemah lembut. Bukan berarti ingin selalu dikasari, atau bahkan menggunakan fisik. Hanya saja, sesekali itu perlu agar siswa tidak "keterlaluan" keluar adab.

Dan rasanya, tujuan guru-guru mendidik siswa dengan keras itu sama saja, yaitu agar siswanya punya rasa takut jika berbuat salah. Walaupun awalnya hanya takut dihukum oleh guru, namun perlahan sikap takut itu akan tumbuh menjadi kebiasaan.

Hebatnya, kebiasaan "takut berperilaku buruk" perlahan akan melahirkan prinsip diri bagi siswa bahwa mereka harus terus berupaya berbuat baik dan menjadi pribadi yang lebih baik. dan ending-nya adalah, mereka bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk secara murni, bukan dengan mencampurkan keduanya.

Sungguh, walaupun Pancasila disakiti dengan perilaku-perilaku manusia yang bertentangan dengan nilai-nilai, Pancasila tetap tidak akan berubah. Dasarnya begitu kuat dan kemurnian pedomannya tidak bisa tercemar walau sedikit.

Pancasila sudah sangat berarti dan mendalam, hingganya sudah ada untaian sikap baik dengan Tuhan, sesama manusia, bahkan dengan alam/lingkungan sekalipun. Hanya saja, nilai-nilai ini tidak bisa didapat hanya dengan cara dihafal, ditanam, maupun mendengar nasihat.

Harus ada kesan yang tertinggal bersama upaya-upaya perbaikan perilaku. Jika perilaku itu bertentangan, tidak cukup hanya ditegur dan dinasihati. Mesti ada pembenahan, pengulangan perilaku, hingga perbandingan perilaku.

Tujuannya, agar nanti generasi muda bisa segera sadar dan berubah dari perilaku buruk menuju perilaku yang berlandaskan Pancasila.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun