Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Lupa Bahwa Pemimpin Zalim Berasal dari Rakyat yang Zalim

29 September 2019   06:42 Diperbarui: 29 September 2019   06:48 1202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Rakyat Yang Terzalimi. Gambar dari Kasun Chamara. (www.pixabay.com)

Kecewa dengan pemimpin karena dinilai tidak adil, tidak merakyat, kejam, bahkan bertindak sesuka hatinya? Wajar saja, tidak semua pemimpin memiliki hati yang bersih, dan tidak semua rakyat mau memilih pemimpin yang hatinya bersih. Hanya saja, kita beruntung masih bisa kecewa. Kenapa?

Karena dengan kecewa, ternyata kita masih bisa menilai mana yang benar dan mana yang salah, tanpa harus mencampur-adukkan keduanya. Setidaknya banyak dari kita yang masih punya kemurnian hati dan harapan agar negeri ini bisa maju dan dikendarai oleh pemimpin yang adil.

Namun, harapan ini terus-menerus tergusur dengan kenyataan bahwa banyak sekali pemimpin-pemimpin kita yang berkelakuan zalim. Mulai dari Kepala Desa yang beberapa kali tertangkap tangan menggelapkan dana desa, Bupati/Gubernur yang senantiasa tak memperhatikan daerah-daerah tertinggal, hingga para menteri yang  bergantian dalam korupsi.

Jangan pula lupa dengan anggota-anggota DPR yang nyatanya tidak amanah, tidak menyampaikan keluh rakyat dan senantiasa memanggang aspirasi rakyat hingga gosong sebelum sampai di meja rapat.

Begitu pula dari kebijakan-kebijakan "menindas" yang telah mereka orbitkan. Dan hebatnya, rakyat kerap kali salah sasaran dalam menguntai keluhnya. Misalnya, ada para pengusaha daerah yang mengecap bahwa Menteri Keuangan bertindak zalim karena terus-menerus menaikkan pungutan pajak.

Para pengusaha daerah tersebut terus berdatangan via media sosial dan mengeluhkan bahwa Menteri Keuangan "zalim amat", padahal kebijakan tentang pungutan pajak dan retribusi daerah tidak melulu dibuat oleh Menteri Keuangan.

Lagi-lagi, ini hanyalah salah satu pungutan kisah dari serakan paradigma bahwa banyak sekali pemimpin negeri ini yang senantiasa menyalahgunakan amanah, dan lupa dengan sumpah sucinya. Padahal mereka dulunya adalah rakyat juga kan?

Rakyat Zalim, Pemimpinnya Zalim

Karena pemimpin itu asalnya dari rakyat, maka timbul persepsi bahwa kebaikan maupun keburukan seorang pemimpin adalah bawaan sifat saat mereka masih menjadi rakyat. Bahkan itu bukanlah sekadar persepsi, karena kita sebagai rakyat sudah berulang kali tertindas oleh kebijakan-kebijakan yang memberatkan.

Sebut saja seperti kebijakan perpanjangan masa pensiun pegawai, pemutusan kontrak tenaga/guru honorer, kebijakan impor yang menghancurkan harga bahan pokok tanah air, dan kebijakan-kebijakan lainnya.

Kebijakan-kebijakan ini sekilas tampak adil, bahkan menguntungkan. Tapi sayang, adilnya masih subjektif, begitu juga dengan yang dapat untung. Dan parahnya, yang tertindas adalah rakyat kecil dengan ekonomi menengah ke bawah. Pemimpinnya? Tetap bersenyum ria sembari menepis keluh dan celaan. Huuhh.

Dari sini agaknya perlu kita kuliti bagaimana sikap pemimpin saat ia menjadi rakyat. Pemimpin yang hobi suap bukan tidak mungkin saat ia menjadi rakyat kecil sering menerima suap. Walau sekadar sebungkus rokok ataupun sekardus mie instan untuk satu suara, tetap saja itu kebiasaan buruk.

Atau memang sengaja saat ia mencalonkan diri sebagai pemimpin, ia mengumpulkan suara dengan cara menyuap rakyat dan teman-temannya. Ratusan juta bahkan miliaran bukanlah soal, toh nanti bisa segera kembali dalam waktu 1-2 tahun. Jika rata-rata calon pemimpin bersikap seperti ini, maka sungguh macet negeri kita.

Selain itu, kezaliman pemimpin bisa bisa terjadi tanpa disangka-sangka, bahkan beberapa kali menyalahkan kenyataan yang selama ini kita yakini. Misalnya, sosok pemimpin itu kita kenal sangat baik saat menjadi rakyat. Ketika mereka jadi pemimpin tingkat Kepala Desa, Camat, bahkan Bupati, sikap baik dan adil mereka tidak berubah.

Namun ketika jabatannya sudah naik menjadi Gubernur, DPR, Menteri, bahkan presiden, semua sikap baik dan adil itu berubah drastis. Dari kebaikan yang murni menjadi kebaikan kepada oknum tertentu saja. 

Dari keadilan objektif menjadi keadilan untuk kelompoknya saja. Bahkan muncul kesombongan, aniaya, dan sewenang-wenang dalam memimpin.

Kebaikan dan keadilan yang selama ini kita yakini ternyata hanya sekadar bungkusnya saja. Bahkan, kebaikan itu hanyalah berupa pengawet makanan yang tinggal menunggu tanggal kedaluwarsa saja. Kenapa demikian?

Sumber: kompas.com
Sumber: kompas.com

Lemahnya iman menjadi salah satu alasan terkuat mengapa para pemimpin bisa berubah sikap menjadi zalim. Dengan iman yang lemah, maka kekuatan diri untuk menahan nafsu juga ikut terlemahkan.

Jadi, wajar saja ada pemimpin baik saat masih menjabat didaerah namun menjadi jahat ketika menjabat di negara. Nafsu perut yang terus merasa kelaparan seakan kenyang sesaat setelah melihat nominal uang yang angka nol-nya panjang ke kanan.

Beberapa waktu kemudian, timbullah perasaan gundah tentang bagaimana mengolahnya. Tapi, bisikan yang lebih kuat bahkan memekakkan telinga kanan adalah "bagaimana caranya semua masuk ke perut saya!"

Karena kurangnya iman, tentu saja saja telinga kiri akan pura-pura tuli dengan sumpah suci masa lalu. Bahkan, karena sudah tuli, mata mereka ikut-ikutan buta walau sudah berkali-kali memandang dan membaca berjuta kesedihan yang dialami rakyat. Semoga hati mereka tak ikut-ikutan buta!

Rakyat Baik Pemimpinnya Baik

Sebaiknya, pengertian "baik" bagi pemimpin di sini adalah murni dan utuh tanpa ada ketimpangan, tanpa ada celah, dan tanpa ada yang kurang suatu apapun. Untuk itu, jangan ada nafsu yang melapisi bahkan mencederai pengertian baik itu.

Pemimpin yang baik berawal dari rakyat yang baik dan punya keteguhan iman yang kokoh. Akan percuma jika pemimpin itu baik kemudian ia tak punya iman, karena nantinya akan terlemahkan dengan nafsu yang menghancurkan.

Memang benar bahwa setiap rakyat bahkan pemimpin tidak ada satupun yang bisa mencapai pengertian baik secara hakikat, karena mereka juga manusia. Hanya saja, usaha untuk mencapai kebaikan yang hakiki perlu terus dilakukan.

Dan jika usahanya adalah untuk mencapai kesejahteraan, ketentraman, kedamaian, dan kemajuan negeri, maka tidak cukup dilakukan oleh para pimpinan saja. Rakyat pula harus ikut andil dan berpartisipasi dalam memajukan negeri ini, tentu saja dengan cara yang baik.

Komunikasi dua arah menjadi salah satu opsi penting dalam mendukung kemajuan negeri. Jika kita adalah rakyat, maka kita bisa dengan lembut memberi teguran, menyampaikan aspirasi dan keluhan, serta mengusulkan cara-cara bijaksana serta inovatif untuk memajukan negeri.

Jika kita adalah pemimpin, maka kita bisa untuk menyampaikan informasi secara jelas kepada rakyat terkait dengan kondisi negeri ini. Kita pula bisa membuat kebijakan-kebijakan yang bijaksana dengan cara mendengar aspirasi, keluhan, dan usulan rakyat.

Karena biar bagaimanapun bagusnya kebijakan menurut penilaian pemimpin, tetap saja rakyat yang menjalankannya. Rakyat juga yang akan merasa sakit atau bahagia. 

Dan rakyat juga yang dapat menilai bahwa mereka sedang teraniaya, tertindas, atau malah tersejahterakan. Untuk itu, penting bagi rakyat dan pemimpin untuk duduk, sakit, dan bahagia bersama.

Lagi-lagi harus dengan cara yang baik. Meskipun kenyataan saat ini begitu pahit untuk dicicipi, tetap saja kita sebagai rakyat tak bisa melulu terus merebusnya dengan celaan. 

Sejenak kita bisa lihat Fir'aun. Fir'aun adalah contoh seburuk-buruknya pemimpin, namun umat Nabi Musa tak pernah melakukan aksi demonstrasi padanya.

Bahkan, umat Nabi Musa malah diperintahkan Tuhan untuk berbicara dengan lemah lembut kepada Fir'aun, sekalian berharap agar dia ingat atau takut. Padahal Fir'aun sudah sangat keterlaluan dan mengakui dirinya sebagai Tuhan, tetap saja Tuhan memberikannya kesempatan untuk bertaubat.

Semestinya, begitu juga sikap kita sebagai rakyat dalam menghadapi dan menyikapi pemimpin yang zalim. Jangan keterlaluan bertindak, jangan pula antipati. Selagi pemimpin itu masih manusia, yakinlah bahwa mereka bisa berubah. Mari kita tolong mereka.

Karena sejatinya, perwujudan menolong pemimpin yang zalim adalah dengan membebaskan diri mereka dari perilaku zalim, bukan malah memusnahkan mereka dari muka bumi ini.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun