Namun, berbeda kejadiannya setelah seminggu ia tidak merokok. Ia mulai berkeluh kepala pusing, sering mual, bahkan tidak memiliki semangat kerja. Mirisnya, ia malah sering marah-marah. Bahkan saya ingat pernah dua kali melihatnya kembali merokok di parkiran sekolah.
Sepertinya ia begitu kepayahan meninggalkan rokok. Saya tanya, ternyata ia hanya beli sebatang rokok saja, bukan sebungkus rokok.Â
Ia pula berkali-kali berjanji bahwa hari itu adalah terakhir kalinya ia merokok. Meskipun janji itu ia ingkari hingga dua hari, tetap saya menghargai keteguhan hatinya untuk berhenti merokok.
Dan hebatnya, dalam dua bulan ia bisa berhenti total dari rokok. Dengan hanya berbekal makan permen dan sesekali minum kopi pahit ia berhasil membentengi diri untuk tidak merokok lagi. Beberapa hasutan rekan kerja yang lain pun ia tolak dengan tegas. Bahkan, mencicipinya walau sedikit saja ia tidak mau lagi.
Uniknya, ia tidak serta merta segera menjadi orang yang hobi ngemil. Padahal, banyak orang bilang jika kuat merokok maka kuat ngopi, dan orang yang tidak merokok biasanya suka ngemil. Semua pernyataan absurd ini ia tepis dengan tetap menjalankan hidup secara sederhana.
Tidak mesti harus menunggu datangnya sakit bahkan azab barulah mau berhenti merokok. Memang benar pernyataan bahwa "merokok mati, tidak merokok mati". Tapi, bukankah setiap orang ingin menjemput kematiannya dengan cara yang lebih baik?
Untuk itu, segeralah berhenti merokok dan bersemangatlah untuk bergaya hidup sehat.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H