"Tapi hanya omong kosong"!Â
Inilah kata-kata mutiara yang segera dijawab oleh Ibu Erni, salah satu guru SD tempat saya mengajar saat ini. Tepatnya tadi siang saat kami beristirahat di ruang guru, saya bercerita bahwa teman saya akan berhenti merokok saat ia akan menikah.
Agaknya itu adalah niat yang baik, namun segera mendapat sindiran tegas berlampiskan ungkapan kekecewaan. Terang saja, sudah begitu banyak orang yang meneriaki dirinya sendiri untuk berhenti merokok, tapi nyatanya hoaks.
Beberapa saat kemudian, muka teman saya yang sejatinya adalah guru olahraga segera memerah sembari tertutup oleh sapuan tangan kirinya.
Berniat Untuk Berhenti Merokok
Sebut saja namanya Ujang. Beliau belum menikah, masih muda, lincah, bahkan selalu tersenyum dan bersemangat. Ujang beberapa kali sudah menyatakan kepada saya bahwa ia akan segera berhenti merokok menjelang nikah. Katanya, ia punya target akan menikah di tahun depan.
Meskipun Ujang tidak pernah merokok di sekolah, bukan berarti ia hanya perokok pasif. Sering kali Ujang membeli rokok di minimarket modern saat pulang kerja maupun saat akan jalan-jalan. Uniknya, beliau tidak pernah sekalipun mau beli rokok di warung tradisional.
Setelah beberapa kali saya lihat dari merek dan bungkusnya, agaknya rokok itu memang spesial dan tidak dijual di warung-warung tradisional. Ujang pun menegaskan bahwa rokok yang dibelinya lebih aman dikonsumsi dibandingkan dengan rokok warung.
Padahal, peringatan di bungkus rokok semuanya sama saja. Mulai dari kanker, serangan jantung, impotensi, kehamilan dan janin. Kehamilan? Upps, maksudnya gangguan kehamilan. Hehe.Â
 Terakhir, Ujang menambahkan bahwa rokok yang ia beli di minimarket memiliki bagian filter yang lebih padat, sehingga dapat mengurangi jumlah tar dan nikotin yang masuk ke mulut.
Meski banyak alasan tentang rokok masa kini yang dinilai kurang mudharatnya, tetap saja tidak sedikitpun mengurangi bahaya yang ditimbulkan. Bahkan, walaupun beberapa kali muncul "azab" sebagai dampak dari merokok, tetap saja banyak perokok yang antipati.
Seperti halnya beberapa tetangga saya. Ada yang pernah kena penyakit sesak nafas karena merokok dan ada juga yang anaknya sempat menginap beberapa hari di rumah sakit gara-gara terus menghisap asap rokok di rumah.
1-2 bulan saya amati, mereka berhenti merokok, bahkan itu adalah totalitas. Tapi nyatanya, sekarang kembali lagi aktif merokok. Awalnya hanya curi-curi waktu agar bisa merokok.Â
Mulai dari merokok beberapa batang saat di kebun, meminta rokok tamu yang datang, hingga merokok dengan cara bertamu ke rumah orang.
Tampaknya, niat mereka untuk berhenti merokok kalah telak ketika melawan nafsu dan kebiasaan sedari lama. Walau sudah berkali-kali melihat azab para perokok, bahkan mereka sendiri yang tertimpa azab karena merokok.
Begitu Payahnya Berhenti Merokok
Walaupun banyak yang hanya "niat sambal" untuk berhenti merokok, ada pula dari mereka yang berhasil, tuntas, dan totalitas dalam meninggalkan rokok. Mungkin karena kuatnya niat serta ada hidayah yang mengiringi mereka.
Salah satunya adalah rekan kerja saya yang bekerja sebagai staff perpustakaan di sekolah. Entah ada angin apa yang berhembus hingga ia menuturkan kepada saya untuk segera ingin berhenti merokok. Tidak tanggung-tanggung sejak hari itu ia tidak lagi beli rokok. Tawaran-tawaran teman pun ia tolak, walau hanya sebatang rokok saja.
Keesokan harinya, saya semakin percaya bahwa ia memang sungguh-sungguh berhenti merokok. Tampak ada beberapa pack permen menghiasi meja staff perpustakaan yang sejatinya bersebelahan dengan meja kerja saya waktu itu.
Mulai dari permen tamarin, mentos, hingga permen tolak angin pun ada. Uniknya, ia tak pernah sekalipun menawarkan kepada saya untuk mencicipi permen yang ia beli, walau hanya sebiji saja. Haha.Â
Alasan ia ingin berhenti merokok pun begitu dalam, yaitu agar para perempuan tidak illfeel kepadanya. Ia juga ingin segera menikah.
Namun, berbeda kejadiannya setelah seminggu ia tidak merokok. Ia mulai berkeluh kepala pusing, sering mual, bahkan tidak memiliki semangat kerja. Mirisnya, ia malah sering marah-marah. Bahkan saya ingat pernah dua kali melihatnya kembali merokok di parkiran sekolah.
Sepertinya ia begitu kepayahan meninggalkan rokok. Saya tanya, ternyata ia hanya beli sebatang rokok saja, bukan sebungkus rokok.Â
Ia pula berkali-kali berjanji bahwa hari itu adalah terakhir kalinya ia merokok. Meskipun janji itu ia ingkari hingga dua hari, tetap saya menghargai keteguhan hatinya untuk berhenti merokok.
Dan hebatnya, dalam dua bulan ia bisa berhenti total dari rokok. Dengan hanya berbekal makan permen dan sesekali minum kopi pahit ia berhasil membentengi diri untuk tidak merokok lagi. Beberapa hasutan rekan kerja yang lain pun ia tolak dengan tegas. Bahkan, mencicipinya walau sedikit saja ia tidak mau lagi.
Uniknya, ia tidak serta merta segera menjadi orang yang hobi ngemil. Padahal, banyak orang bilang jika kuat merokok maka kuat ngopi, dan orang yang tidak merokok biasanya suka ngemil. Semua pernyataan absurd ini ia tepis dengan tetap menjalankan hidup secara sederhana.
Tidak mesti harus menunggu datangnya sakit bahkan azab barulah mau berhenti merokok. Memang benar pernyataan bahwa "merokok mati, tidak merokok mati". Tapi, bukankah setiap orang ingin menjemput kematiannya dengan cara yang lebih baik?
Untuk itu, segeralah berhenti merokok dan bersemangatlah untuk bergaya hidup sehat.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H