Bagaimana perasaan kita saat mengantri di SPBU, lalu ada seseorang yang berusaha membuat jalur baru dan memotong barisan antrean? Agaknya kesal bukan? Terang saja, kita yang sudah berpanas-panasan dan mungkin sudah cukup lama mengantri, eh dia dengan enaknya menyerobot! Yang membuat kita tambah sakit adalah, petugas SPBU tidak memarahi dan tetap melayaninya. Huufh.
Jika seorang yang menyerobot itu mungkin sedang terdesak dan berada pada situasi darurat, mungkin kita masih bisa memaksa diri untuk senyum dan menerima. Tapi, jika itu adalah "Orang Dalam", tentu tidak bisa diterima. Biarpun "Orang Dalam" itu adalah tetangga Si petugas SPBU, kerabat dekat, maupun keluarganya sekalipun, sejatinya tetap harus mengantre.
Fenomena "Orang Dalam" masih terus menjadi biang penderitaan para pelanggan dalam mendapatkan layanan publik. Baik itu layanan kesehatan, layanan sipil, layanan pendidikan, maupun layanan jasa lainnya tentu ada "Orang Dalam"nya.
Layaknya Presiden, "Orang Dalam" seakan juga punya hak prerogatif dalam menggunakan layanan publik. Entah itu mendapat barisan terdepan, dipercepat proses pelayanannya, atau bahkan mendapat diskon khusus dari layanan tersebut. Jangan-jangan penjaga toilet umum pun sekarang  sudah ada "Orang Dalam"nya! Bahaya ini! Bisa-bisa... ... Hahaha.
Mencederai Hak Pelanggan
Jika fenomena "Orang Dalam" tidak terlihat, mungkin pelanggan tidak akan begitu berkeluh. Uniknya, "Orang Dalam" malah terang-terangan melakukan aksinya didepan mata kita, dan didepan banyak pelanggan lain. Kita, sebagai pelanggan publik yang tidak punya "Orang Dalam" merasa terasingkan.
Mau berkeluh ditempat layanan itu, kita takut nanti urusan kita tidak dilayani, bahkan ditunda proses pengerjaannya. Padahal, perilaku "Orang Dalam" ini sudah mencederai hak pelanggan terkait pemenuhan layanan publik.
Pelanggan sejatinya memiliki kesamaan hak saat mendapatkan pelayanan. Apalagi jika itu adalah lembaga pelayanan publik, maka sangat dituntut adanya kesetaraan. Semakin kesini, sesungguhnya tindakan "Orang Dalam" semakin menjurus kepada tindakan diskriminatif.
Dugaan pelanggan publik bisa saja "Orang Dalam" itu memiliki kesamaan suku dengan petugas layanan publik. Atau mereka satu ras, satu etnis, kerabat dekat, atau bahkan status sosialnya yang lebih tinggi dibandingkan kita-kita ini. Jangankan urusan pelayanan publik, Â membeli ayam geprek saja walau hanya 1 porsi tetap harus mengantre.
Anaknya NepotismeÂ