Gaji presiden, menteri, dan gubernur sungguh besar, jauh berkali-kali lipat daripada gurunya dimasa kecil. Jika gaji mereka ditambah tunjangan-tunjangan yang selalu bertambah, maka gaji guru hanya akan bertambah sekian persen, bahkan berkurang. Dan jika ada yang menganggap gaji guru ASN itu besar, maka anggapan itu hanya datang dari guru honorer saja.
Terus terang saja, guru ASN masih kecil gajinya. Gaji mereka senantiasa selalu terpotong oleh uang bensin, uang pecah ban, hingga uang kuliah anak. Tidak semua guru dapat mengajar di lokasi sekolah yang dekat. Ya, ada yang jarak tempuhnya 1 jam perjalanan, 2 jam, bahkan ada yang 3 jam. Itu hanya perjalanan pergi. Pulangnya? Tambahkan sendiri.
Bisa kita hitung berapa besar pengeluaran bahan bakar kendaraannya. Belum dengan pecah ban dan servis kendaraannya, belum lagi dengan biaya hidup dan sekolah anak. Tapi, hebatnya guru tidak ngeluh, guru masih ikhlas dan sabar.
Guru honorer lebih sabar lagi. Dengan gaji yang terbilang sangat kecil, mereka bahkan lebih ikhlas dan semangat daripada guru ASN. Kadang terima gaji 2 bulan sekali, 3 bulan sekali, bahkan 6 bulan sekali. Mirisnya, gaji itu dipotong jika dalam 1 bulan banyak hari liburnya. ASN dipotong? Belum pernah terdengar di telinga kita.
Dengan gaji yang kecil, sejatinya guru sudah teraniaya. Maka, janganlah para orangtua tambah penderitaan mereka dengan menganiaya, menyakiti hati, bahkan menciderai mereka. Apalagi jika hanya berbekal cerita "hiperbola" anaknya saja. Sungguh, cerita anak yang tersakiti oleh teman itu banyak sekali bumbunya, dan jarang sekali banyak benarnya.
Siswa Takut Jadi Guru
Melihat tindakan aniaya seperti ini, bisa jadi siswa-siswi di negeri ini mulai takut jadi guru. Mereka takut dipukul oleh orangtua murid, mereka takut dianiaya murid, dan mereka takut tidak bisa hidup layak. Jika mereka tak mau jadi guru, lalu siapa yang akan mengajarkan pendidikan di negeri ini? Apa mau diajar oleh bangsa lain? Hmm, yang ada nanti bukan diajar, melainkan dihajar dan dijajah.
Berkali-kali perlu kita tegaskan bahwa ketika orangtua siswa menitipkan anaknya ke sekolah, maka orangtua sudah percaya sepenuhnya dengan sekolah. Artinya, jika ada masalah di sekolah, maka pihak sekolahlah yang menyelesaikan dan bertanggungjawab terhadap semua masalah siswa disekolah. Tidak perlu orangtua sebagai "orang luar" ikut campur secara langsung.
Apa mau permasalahan orang tua diselesaikan oleh pihak sekolah? Misalnya, ada siswa bercerita kepada pihak sekolah tentang keributan ayah dan ibunya di rumah. Karena cerita itu, sontak guru-guru langsung mendatangi orangtua siswa, memarahi, menegur, dan berkeras diri untuk menyelesaikan masalah "pribadi" rumah tangga siswa tadi.
Jika seperti itu, tidak sopan kan? Tidak etis kan? Maka darinya, orangtua perlu profesional dan berpikir dengan kepala dingin.
Masih banyak anak-anak kita yang tulus cita-citanya menjadi seorang guru. Jangan cemarkan cita-cita mereka yang tulus itu dengan aniaya. Apalagi seperti video yang viral ini, siswa malah memilih melindungi dan menenangkan guru daripada orangtua. Mereka malah lebih takut kepada orangtua.
Mereka bahkan melihat orangtuanya seperti orang lain, seperti penjahat, dan seperti orang yang tidak mereka kenal. jadi, orangtua yang sesungguhnya siapa? Apakah guru? Tentulah tidak. Maka darinya, hormati guru, hargai guru, dan banggakanlah mereka.