Pandangan kami di sini mulai minus bahkan kabur, gelap gulita. Padahal kami cinta bola, tapi mereka satu per satu mulai melarikan diri dari tatapan.
Saya dulu  adalah penggemar Barcelona, tepatnya pada tahun 2010-2012 lalu. Tampak masih ada David Villa, Lionel Messi, Xavi, dan Iniesta menghiasi starting line up Barca di hampir semua pertandingan. Saya langsung jatuh cinta dengan permainan tiki-taka yang diusung oleh Pep Guardiola waktu itu.
Hampir setiap weekend saya memaksa diri untuk bangun dini hari, demi menonton pertandingan bola. Tak ada gundah, biarpun kalah. Karena begitu senang bisa menyaksikan siaran langsung sepakbola tanpa "disensor" ,tanpa  "diacak" dan tidak berbayar. Liga elite Eropa lagi! Tentu saja akan jadi perbincangan hangat setiap Senin pagi setelah upacara. Hmm, waktu itu saya masih SMA.
Bukan hanya liga elite Eropa, ternyata Liga Indonesia yang waktu itu masih bertajuk ISL (Indonesia Super League) juga ditayangkan gratis oleh televisi swasta. Tak heran, menjelang sore hari saya mulai standby di depan televisi berteman dengan kopi panas.
Jika halnya menonton liga-liga Eropa banyak suntuknya, berbeda dengan liga Indonesia. Nyentriknya banyak, dan yang paling seru adalah komentatornya. Jelas saja, bahasanya Indonesia. Hehe
Karena seringnya nonton ISL waktu itu, hampir semua pemain andalan klub saya hafal. Saya masih ingat bagaimana skill seorang Gustavo Lopez di Persela, Keith Kayamba Gumbs di Sriwijaya, hingga kedatangan Greg Nwokolo di Pelita Jaya.
Ajang Timnas tanah air juga sangat di nanti-nanti. Meskipun waktu itu kecewa kebobolan 10-0 oleh Bahrain saat kualifikasi Piala Dunia 2014, tetap kami dukung dan doakan. Terang saja, pada siapa kami mau menuntut. Toh persepakbolaan kita pada waktu itu sedang kena sanksi. Akhirnya, skuad yang turun cuma kelas "dua".
Ya itu sudah masa lalu, kenangan yang indah untuk berbagi. Tidak seperti sekarang, sungguh pelik dan gusar keadaannya. Beberapa kali, kita sebagai rakyat pinggiran yang cinta bola memaklumi dan berkata dalam hati: "Wajar liga-liga Eropa dan Champions League disensor, mungkin biaya siaran dan produksinya mahal. Liga Indonesia dan laga Timnas saja sudah cukup menyenangkan".
Tapi, sepertinya pemakluman kami di pelosok ini semakin mengendus duka. Tahun 2017 kalo tidak salah, liga Indonesia sudah pake "enkripsi" dan mulai berbayar. Gara-gara itu, muncullah siaran gelap gulita pada jam-jam siaran bola Liga Indonesia. Sehari, dua hari, bahkan seminggu kami masih memaklumi. Kami beranggapan mungkin sinyal sedang gangguan, atau televisi dengan dalam perbaikan.
Lama-kelamaan menanti tayang, ternyata tetap siaran gelap gulita. Ahh sudah, mulai hari itu banyak sekali celaan, makian, hingga umpatan kami rakyat pelosok kepada pemerintah. Bertemu teman dan kerabat sesama pecinta bola dan timnas, mulai bahas sensor. Lagi rapat, bahkan musyawarah desa, juga tak luput dari bahasan sensor.