Tak sampai pada jumlah halaman yang berbeda-beda di tiap versi yang beredar ke publik, Draf final Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja perlu dikaji oleh para pakar hukum tata negara kita. Kenapa?
UU Cipta kerja masih jadi sorotan mata publik. Meski pihak Istana telah buka suara terhadap beredarnya versi draf final UU Ciptaker memiliki jumlah halaman berbeda-beda, hingga beberapa pasal hilang dan terjadi perubahan pada Undang-undang sapu jagat tersebut. Â
Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis dalam artikelnya di Republika online menulis betapa bobroknya prosedur UU Ciptakerja yang lembaran kertasnya kerap berubah-berubah. Mempermainkan konstitusi tengah berlangsung, namun dibiarkan tanpa ada proses lanjutan ke ranah hukum.
"Tipis saja halaman RUU Omnibus Cipta Kerja saat disetujui bersama DPR-Presiden menjadi UU. Namun, ratusan lembar kertas itu segera berubah, bertambah menjadi lebih banyak setelah hal-hal teknis pengetikan dibereskan oleh Baleg DPR. Hebatnya, begitu diserahkan ke Presiden untuk ditandatangani dan diundangkan, lembaran-lembaran kertas itu malah berkurang lagi," tulis awal paragraph pada artikel berjudul "Konsekuensi Perubahan Dua Pasal UU Omnibus Cipta Kerja"
Pasal yang hilang dan Berubah
Hal menarik lainya yang menurut saya cukup mengagetkan kita semua adalah di saat pihak Istana Kepresidenan mengakui dihapusnya satu pasal dalam naskah 'final' yang diserahkan DPR kepada Kementerian Sekretriat Negara.
Loh, kok bisa seperti itu mekanismenya?
Naskah UU Cipta Kerja yang disahkan saat Sidang Paripurna 5 Oktober lalu terdapat pasal yang hilang. Padahal satu pasal saja berubah akan jadi tanda tanya besar oleh masyarakat. Apalagi pasal yang hilang tersebut paling penting mengenai Energi dan Sumber Daya Mineral. Pasal 46 pada paragraph ke enam yang hilang tersebut tidak menimbulkan akibat hukum?
Lalu, bila demikian siapa yang paling bertanggung jawab?
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas membenarkan, Kemensesneg mengajukan perbaikan dalam naskah UU Cipta Kerja. Salah satunya adalah Pasal 46 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang seharusnya dihapus dari undang-undang sapu jagat itu.
Pasal 46 yang sebelumnya berisi empat ayat kemudian ditambahkan satu ayat lagi untuk mengakomodasi keinginan pemerintah. Namun, keinginan tersebut tak disetujui oleh Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja sehingga diputuskan kembali ke UU existing.