Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Sekolah Besar Tanpa Parkiran, Bagaimana Solusinya?

16 Januari 2025   13:26 Diperbarui: 17 Januari 2025   07:48 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parkiran siswa di bahu jalan. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Lokasi dan bangunan sekolah yang ideal seyogyanya memiliki fasilitas tambahan yang memadai untuk mendukung layanan pendidikan. Fasilitas tersebut meliputi sarana pendukung mobilitas warga sekolah, yakni area parkir. 

Sekolah di daerah pinggiran dan pedesaan tentunya tidak terlalu membutuhkan lahan parkir yang luas. Guru dan siswa di sana masih dominan jalan kaki. 

Kondisi berbeda jika sekolah tersebut ada di kota. Sebagian besar warga sekolah, apakah guru atau siswa, lebih naik kendaraan pribadi ke sekolah. Selain mobil, sepeda motor adalah moda transportasi paling dominan.

Ketika kendaraan pribadi sudah lebih mendominasi, maka tantangannya adalah ketersediaan lahan parkiran. 

Inilah kondisi yang terjadi pada banyak sekolah di Kabupaten Tana Toraja, khususnya pada jenjang sekolah menengah atas. Terdapat beberapa sekolah dengan grade sekolah besar yang ada di ibu kota kabupaten, Makale yang justru bermasalah pada ketersediaan lahan parkir kendaraan.

Situasi inilah yang dialami SMAN 5 Tana Toraja sejak lama. Salah satu sekolah unggulan Bumi Lakipadada ini memiliki jumlah siswa lebih dari 800 yang berasal dari 24 kelas. Didukung lokasi sekolah yang strategis, yakni di tengah kota, maka tidak heran sekolah ini menjadi salah satu primadona selain SMAN 1 Tana Toraja.

Tantangan besar sekolah ini adalah ketersediaan area parkir untuk guru dan siswa. Halaman sekolah yang hanya seluas lapangan basket sudah pasti tidak mumpuni untuk menampung kendaraan, baik mobil maupun motor. Untuk parkir guru dan pegawai saja, halaman sekolah sudah terpakai setengah. Tambahan lagi jika terpakai untuk parkir motor siswa. 

Sehingga, selama bertahun-tahun, banyak siswa SMAN 5 Tana Toraja yang memarkir motor mereka di lahan kosong, bahu jalan, lorong, halaman dan kolong rumah warga. 

Polemik kemudian muncul seiring perkembangan. Warga lokal dan pendatang juga banyak yang memiliki kendaraan pribadi. Selain itu, pertumbuhan bangunan kantor dan pertokoan turut memicu mulai menyempitnya lahan parkir siswa. 

Dalam dua tahun terakhir, komplain warga kepada pihak sekolah sering terjadi. Bahkan beberapa kali pemerintah terkait dan pihak Polres Tana Toraja juga menyampaikan informasi keluhan warga atas area sekitar rumah yang dijadikan tempat parkir motor siswa.

Menindaklanjuti keluhan warga, pihak sekolah telah berulang kali menerapkan kebijakan untuk menekan jumlah pemakaian kendaraan bermotor oleh siswa ke sekolah. Salah satunya, hanya siswa yang memiliki SIM yang boleh mengendarai motor dan diizinkan parkir di area halaman sekolah. Pernah juga diterapkan pemberian poin pelanggaran 50 kepada siswa yang mengendarai motor dan tak punya SIM, tetapi tak membuat jumlah motor berkurang. Justru seolahs semakin menjamur.

Terbaru, sekolah mengeluarkan himbauan untuk mengempeskan ban motor siswa jika ditemukan terparkir di area Perpustakaan Daerah dan sekitar Alfamidi. Namun, kembali lagi,  jumlah motor siswa tetap stabil. Mereka jeli mencari lahan parkir jauh di dalam area pemukiman warga. Mereka kreatif pula dengan meminta izin ke pemilik rumah setempat. 

Memang, sejujurnya, animo siswa mengendarai motor ke sekolah memang sulit ditekan. Hal ini didukung oleh kondisi di mana ratusan siswa berasal dari luar kota. Bahkan ada yang berjarak di atas 15-35 km dan memilih pergi-pulang tiap hari.

Ratusan siswa SMAN 5 Tana Toraja yang mengendarai motor ke sekolah tiap hari turut menyumbang potensi kemacetan lalu lintas di pertigaan sekolah menuju terminal kota dan Toraja Utara. Kondisi macet terjadi saat tiba dan pulang sekolah. Sesekali, kecelakaan lalu lintas di depan gerbang sekolah. Pernah pula terjadi pencurian motor dan helm siswa.

Melihat kondisi ini, saya mencoba penerapan dari pengalaman di Korea Selatan. Saya memulainya dari kelas-kelas yang saya ajar. Say mengajak siswa untuk mulai membiasakan jalan kaki ke sekolah. Misalnya, untuk jarak rumah ke sekolah dalam radius 1-2 KM dianjurkan jalan kaki. Saya meminta mereka untuk menyampaikan analisa sederhana, mana yang lebih cepat tiba di sekolah, naik motor atau jalan kaki. Konsep jalan kaki mendukung gemar olahraga yang diterapkan Mendikdasmen baru. Intinya, olahraga adalah bergerak.

Minggu ini saya mecoba mengeceknya pada 6 kelas yang saya ajar. Sudah banyak siswa yang mulai jalan kaki dan mereka bisa melihat dampak positifnya. 

Saya pun mendorong mereka untuk mulai membawa payung ke sekolah. Ya, mirip siswa di Korea Selatan. Payung bisa menjadi media siswa untuk menghindari pemakaian motor. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun