Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Alasan di Balik Turunnya Angka Perkawinan Masa Kini

8 November 2024   20:37 Diperbarui: 8 November 2024   22:30 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkawinan pada dasarnya adalah mewujudkan kehidupan berumah tangga antara seorang laki-laki dan perempuan. Dengan perkawinan, maka kemungkinan berlanjutnya generasi seseorang akan terjadi. 

Walaupun tak selamanya semua perkawinan dikaruniai keturunan, tetapi niat untuk membina rumah tangga tetap dilangsungkan oleh banyak pasangan. Mereka memiliki alasan bahwa perkawinan atau berumah tangga adalah salah satu media untuk mendapatkan kasih sayang, memiliki teman bercerita, dll.

Namun, fakta saat ini menunjukkan bahwa jumlah angka perkawinan turun. Apa yang terjadi dengan usia produktif memasuki perkawinan? Apakah sudah tidak ada kerinduan generasi muda mempersiapkan kelanjutan generasi mereka.

Berikut ini saya menguraikan beberapa alasan di balik menurunnya angka perkawinan yang turun.

Pertama, perkembangan teknologi informasi dan digital yang pesat membuat arus informasi menyebar dalam waktu singkat. Termasuk dalam hal ini informasi seputar dunia perkawinan. Bagaimana pun juga, makin banyaknya berita tentang kegagalan berumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga, dan beragam tindakan kriminal dan asusila lainnya, turut mempengaruhi animo generasi muda untuk berumah tangga. 

Ada kecenderungan mereka enggan dan takut memasuki perkawinan karena terpengaruh informasi. Apalagi perkawinan seputar dunia pesohor, tentu sangat mengkhawatirkan.

Kekecewaan akan banyaknya korban perceraian dan kegagalan rumah tangga ikut berpengaruh pada menurunnya minat menjalani perkawinan.

Kedua, budget atau biaya untuk acara perkawinan saat ini semakin mahal. Mau perkawinan secara adat atau modern, saat ini sama-sama membutuhkan banyak biaya.

Pakaian seragam keluarga, panitia, makanan, MC, sewa gedung, sewa even organizer, dll semuanya butuh biaya. Dari acara lamaran saja, sudah mengeluarkan kocek ratusan hingga miliar rupiah. Pengaruh dunia modern dan kehidupan selebriti sepertinya mulai menjadi kiblat acara lamaran di Indonesia.

Bagi sejumlah orang tabir, acara lamaran dan resepsi perkawinan bernilai miliaran  dan menghadirkan artis papan atas adalah hal biasa. Tetapi, konsep ini menjadi batu sandungan bagi keluarga menengah ke bawah.

Ketiga, ada kecenderungan kaum wanita takut untuk melahirkan. Fakta ini sudah beberapa kali saya dapatkan di RS bersalin.  Termasuk ipar dan sepupu istri saya mengungkapkan hal ini. Mereka tak tahan akan rasa sakit saat melihat istri saya dalam proses melahirkan. 

Untuk kondisi ini, tentunya butuh sosialisasi dari orang tua, keluarga dekat dan dokter terkait untuk membuka wawasan seputar proses bersalin.

Keempat, dunia handphone kini banyak memuat konten yang menceritakan mudahnya berumah tangga di drama-drama Cina, tetapi menderita dan mudah ditinggalkan. Meskipun pada akhirnya drama tersebut tetap berakhir bahagia, tetapi karena drama serupa saat ini tengah digandruni remaja, secara perlahan mempengaruhi pola berpikir mereka dan mulai segan masuk kehidupan perkawinan.

Kelima, generasi saat ini lebih cenderung pada fokus bekerja dan mengumpulkan materi. Semakin hari biaya hidup semakin naik. Dituntut pula oleh kebutuhan memoles diri. Para pria sering terkandung oleh tingginya biaya meriah diri istrinya kelak yang membuat mereka mulai cium dan selektif mencari pasangan.

Keenam, ada kecenderungan generasi saat ini lebih senang menghabiskan waktu berduaan dengan kucing atau anjing dibandingkan dengan orang. Hewan piaraan yang jinak lebih dipercaya sebagai teman jalan-jalan dibandingkan dengan manusia.

Perilaku ini mencontoh kehidupan dunia dunia barat dan negara maju. Di Korea Selatan, misalnya, laki-laki dan perempuan saat ini lebih suka jalan-jalan di kota bersama seekor anjing. Drama Korea pun sering menampilkan hal yang sama. Oelh karena faktor sebagai fans fanatik, generasi muda Indoensia mulai mengikuti trend ini.

Ketujuh, ada kecenderungan pasangan perkawinan usia muda tidak siap memiliki dan merawat anak. Kondisi ini membuat dua hal baru. Menitipkan anak sering berakibat kriminal. Menjaga anak sendiri membuat pekerjaan jadi korban.

Dari sekian faktor ini, tentu masih banyak faktor pemicu lainnya sesuai dengan karakteristik daerah dan budaya setempat.

Untuk menekan jumlah ini, maka perlu keterlibatan semua pihak untuk memberikan edukasi akan pentingnya berumah tangga. Sekolah wajib memasukkan perkawinan yang sehat sebagai muatan pelajaran.

Di sisi lain, kalangan tokoh adat dan agama perlu berkolaborasi memberikan edukasi. Jika angka perkawinan turun terus, suatu waktu, satu suku akan lenyap dari bumi. Seperti yang terjadi di sejumlah daerah di Korea Selatan, perkampungan mulai sepi karena sangat rendahnya angka perkawinan. Tinggal para lansia dengan status rumah tangga tunggal yang menggerakkan desa, tak ada generasi muda.

Demikianlah beberapa pandangan saya seputar menurunnya angka perkawinan di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun