Ketiga, ada kecenderungan kaum wanita takut untuk melahirkan. Fakta ini sudah beberapa kali saya dapatkan di RS bersalin. Termasuk ipar dan sepupu istri saya mengungkapkan hal ini. Mereka tak tahan akan rasa sakit saat melihat istri saya dalam proses melahirkan.Â
Untuk kondisi ini, tentunya butuh sosialisasi dari orang tua, keluarga dekat dan dokter terkait untuk membuka wawasan seputar proses bersalin.
Keempat, dunia handphone kini banyak memuat konten yang menceritakan mudahnya berumah tangga di drama-drama Cina, tetapi menderita dan mudah ditinggalkan. Meskipun pada akhirnya drama tersebut tetap berakhir bahagia, tetapi karena drama serupa saat ini tengah digandruni remaja, secara perlahan mempengaruhi pola berpikir mereka dan mulai segan masuk kehidupan perkawinan.
Kelima, generasi saat ini lebih cenderung pada fokus bekerja dan mengumpulkan materi. Semakin hari biaya hidup semakin naik. Dituntut pula oleh kebutuhan memoles diri. Para pria sering terkandung oleh tingginya biaya meriah diri istrinya kelak yang membuat mereka mulai cium dan selektif mencari pasangan.
Keenam, ada kecenderungan generasi saat ini lebih senang menghabiskan waktu berduaan dengan kucing atau anjing dibandingkan dengan orang. Hewan piaraan yang jinak lebih dipercaya sebagai teman jalan-jalan dibandingkan dengan manusia.
Perilaku ini mencontoh kehidupan dunia dunia barat dan negara maju. Di Korea Selatan, misalnya, laki-laki dan perempuan saat ini lebih suka jalan-jalan di kota bersama seekor anjing. Drama Korea pun sering menampilkan hal yang sama. Oelh karena faktor sebagai fans fanatik, generasi muda Indoensia mulai mengikuti trend ini.
Ketujuh, ada kecenderungan pasangan perkawinan usia muda tidak siap memiliki dan merawat anak. Kondisi ini membuat dua hal baru. Menitipkan anak sering berakibat kriminal. Menjaga anak sendiri membuat pekerjaan jadi korban.
Dari sekian faktor ini, tentu masih banyak faktor pemicu lainnya sesuai dengan karakteristik daerah dan budaya setempat.
Untuk menekan jumlah ini, maka perlu keterlibatan semua pihak untuk memberikan edukasi akan pentingnya berumah tangga. Sekolah wajib memasukkan perkawinan yang sehat sebagai muatan pelajaran.
Di sisi lain, kalangan tokoh adat dan agama perlu berkolaborasi memberikan edukasi. Jika angka perkawinan turun terus, suatu waktu, satu suku akan lenyap dari bumi. Seperti yang terjadi di sejumlah daerah di Korea Selatan, perkampungan mulai sepi karena sangat rendahnya angka perkawinan. Tinggal para lansia dengan status rumah tangga tunggal yang menggerakkan desa, tak ada generasi muda.
Demikianlah beberapa pandangan saya seputar menurunnya angka perkawinan di Indonesia.