Puji Tuhan, pintu masuk sudah dibuka. Rantai besi telah dilepas. Peringatan untuk waspada terhadap perjalanan telah dipasang di depan pintu pendakian.
Saya berjalan sendiri, tiga rekan baru saya masih istirahat di shelter rest area. Kabut tebal, hujan dan angin menemani langkah saya memulai pendakian. Jalur Eosaengsaengak ternyata langsung menyuguhkan tanjakan ratusan meter.Â
Padatnya vegetasi pepohonan hanya meninggalkan batang dan ranting saja karena sebagian besar daunnya telah berguguran.
Jenis pohon carpinus laxiflora blume dan dan ilex crenata paling mendominasi pohon-pohon besar di titik awal pendakian. Ada pula pohon bernama acer pictum subsp. mono Ohashi.
Angin pun makin bebas menembus mantel dan jaket. Sesekali kabut tebal melintas menutupi pandangan. Sangat terasa bahwa jaket saya tembus oleh cuaca dingin dan air hujan. Sepatu mulai terasa berat karena terisi rembesan air.
Dari jejak sepatu, terlihat bahwa saya adalah pendaki pertama yang melintas. Aliran air dari puncak sesekali memberikan suara tambahan gemerisik dari dominannya suara hujan dan tiupan angin.
Kecepatan langkah saya lambat. Menyesuaikan dengan kondisi. Jalur berupa anak tangga dari balok kayu dan bebatuan saya pijak dengan hati-hati karena licin. Pada jalur yang agak rata, papan kayu menjadi pijakan kaki.Â
Pada sisi kanan dan kiri jalur pendakian, terpasang tali pengaman sekaligus pegangan. Sejumlah informasi terkait satwa, tanaman, larangan dan informasi keselamatan terpasang di beberapa titik.
Sekitar 30 menit mendaki, saya tiba pada vegetasi tanaman yang mulai terbuka. Oleh karena hujan, maka hanya kabut tebal menyerupai hamparan salju yang saya temui.Â
Lokasi yang terbuka membuat angin makin kencang. Air hujan pun sangat terasa menerpa mantel.Â
Total jarak tempuh yang saya lewati hingga puncak hanya sejauh 1,3 km. Tantangannya adalah 95% menanjak. Betis saya langsung merasakan sensasi pegal pendakian menanjak di tengah cuaca dingin.