Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Merawat Budaya Lokal Lewat Tradisi

30 Oktober 2024   05:31 Diperbarui: 31 Oktober 2024   11:10 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu tradisi menjamu tamu pada acara kedukaan di Kecamatan Bonggakaradeng, Tana Toraja. (Sumber: Dokumentasi Pribadi) 

Budaya adalah salah satu simbol kekuatan dari keberadaan sebuah bangsa. Budaya yang kuat akan membuat bangsa itu tetap eksis dan tak akan tergerus oleh kemajuan zaman. Budaya memuat pula karakter kuat dari sebuah suku atau kelompok masayarakat. Semakin terpelihara budaya, itu berarti karakter warganya baik.

Di dalam budaya terdapat tradisi yang menjadikan budaya itu sendiri tetap kuat. Setiap daerah memiliki tradisinya sendiri. Tradisi itu terjadi dalam berbagai upacara adat, kedukaan, perkawinan, bercocok tanam, dsbnya.

Kabupaten Tana Toraja sejatinya adalah suku Toraja. Namun, di dalam praktik tradisi sehari-hari, di setiap kecamatan dan kampung memiliki tradisinya sendiri. Misalnya, tradisi warga di Kecamatan Gandangbatu Sillanan berbeda dengan kecamatan lainnya.

Inilah yang tergambar dalam peristiwa budaya lewat tradisi pada acara kedukaan di Kecamatan Bonggakaradeng.

Pada acara kedukaan, ibu-ibu atau kaum perempuan setempat memiliki tradisi yang unik saat akan menjamu tamu dan keluarga yang datang melayat ke rumah duka. Ciri khas pertama adalah mereka mengenakan sarung sebagai bawahan yang disebut ma'kundai. Sebelum kopi, teh dan kue disajikan, terlebih dulu para ibu-ibu membuat barisan di tengah halaman rumah duka. 

Barisan pertama membawa nampan berisi gelas dan kue. Barisan kedua membawa ceret berisi kopi dan teh. Mereka berdiri berhadapan. 

Selanjutnya, barisan kedua menuangkan kopi dan teh ke dalam gelas. Setelah semua gelas terisi, rombongan ibu-ibu membagi diri dengan rapi melangkah ke setiap petak pondok menyajikan kopi, teh dan kue.

Secara natural, satu seorang ibu akan bertindak sebagai komandan yang bertugas memantau apakah semua tamu yang datang telah terlayani.

Tak lupa, sebelum sajian koi, teh dan kue dinikmati, seorang pemuka agama, dalam hal ini pendeta atau majelis gereja akan memimpin doa.

Tradisi ma'pairu' model ini biasanya dilakukan pada hari pertama seseorang telah meninggal di sana atau pada hari kedatangan jenazah di rumah duka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun