Perlukah siswa menerapkan pola hidup hemat energi? Pentingkah siswa mengimplementasikan hidup yang ramah lingkungan? Apakah ruang kelas tanpa siswa dibiarkan lampunya tetap menyala? Atau ruang kelasnya ditinggalkan begitu saja tanpa memperhatikan kebersihan?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang terjawab dan menjadi bagian dari pengalaman berharga saya selama menjalankan tugas mengajar di Jejuseo Middle School, Pulau Jeju, Korea Selatan.
Mengawali tulisan ini, saya mencoba menelisik perilaku hidup hemat energi dan ramah lingkungan telah sejak lama digaungkan di sekolah-sekolah Indonesia. Menurut pengamatan saya selama ini, implementasinya masih jauh dari tujuan yang diharapkan, khususnya di sekolah negeri.
Implementasi terbaik banyak terjadi di sekolah-sekolah swasta, seperti sekolah Kristen, Katolik dan Pesantren.
Selebihnya, tong-tong sampah tetap disediakan di setiap kelas lengkap dengan tulisan jenis sampahnya. Kendala yang muncul adalah tong sampah yang tersedia justru diisi dengan sampah yang tidak terklasifikasi. Hanya label saja dan tindak lanjut minim dari siswa.
Sehingga, lama kelamaan perilaku hidup hemat energi dan ramah lingkungan kembali samar karena tidak adanya tindak lanjut yang kontinyu, baik dari sekolah, wali kelas, guru dan siswa. Mengapa ini terjadi? Karena sekolah Indonesia cenderung memberikan tugas kebersihan kepada petugas kebersihan sekolah.Â
Kondisi kontras terjadi di Negeri Ginseng. Korea Selatan telah dikenal akan kecanggihan teknologinya yang mendukung beragam kebutuhan hidup. Di balik kecanggihan teknologi ini, warga Korea Selatan tidak serta merta tergantung sepenuhnya pada kemudahan teknologi canggih.
Pola hidup berdampingan dengan alam dan lingkungan yang terpengaruh kuat dari paham kepercayaan lokal (local belief) justru mendominasi cara hidup mereka setiap hari. Teknologi diterapkan dan selaras dengan budaya leluhur mereka.
Demikianlah yang tercermin pada cara hidup siswa, secara khusus di Jejuseo Middle School. Hemat energi dan hidup harmonis dengan lingkungan.
Setiap hari sekolah, secara rutin siswa di Jejuseo Middle School mematikan lampu saat tidak ada kegiatan di dalam ruang kelas.
Tanpa ada perintah dari wali kelas atau ketua kelas, siswa secara sadar dan disiplin mematikan lampu. Kondisi yang sama mereka terapkan ketika istirahat untuk tidur sejenak di masa pergantian jam pelajaran 10 menit.
Pada pelaksanaan jam pelajaran pun, siswa mengatur sendiri kapan semua lampu dinyalakan dan dipadamkan. Demikian pula dalam hal penyalaan AC dan kipas angin.
Siswa di sini ternyata lebih memilih kipas angin sebagai penyejuk ruangan, meskipun AC yang terpasang di setiap kelas tergolong besar sekelas AC hotel dan canggih serta dilengkapi dengan penyaring udara dan pembunuh virus.
Cara lain untuk menghemat energi listrik adalah siswa memanfaatkan sumber penerangan kelas dengan membuka tirai/gorden kelas.Â
Konsep ruang kelas memang dibuat minimalis dan dominan dinding kaca dorong. Ketika kaca dibuka, angin yang masuk ke kelas masih melewati penyaringan jaring-jaring baja tipis yang terpasang di bagian jendela paling luar.
Toilet siswa memanfaatkan lampu otomatis yang terhubung dengan sensor. Jadi, balon listrik menyala otomatis saat siswa masuk ke toilet dan padam otomatis saat siswa keluar.
Toilet siswa adalah toilet kering. Mereka memanfaatkan air untuk menyiram saja. Selebihnya penggunaan tissu kering dari bahan daur ulang dan ramah lingkungan mereka gunakan.Â
Jadi, tak ada penggunaan energi berlebih untuk mengalirkan air ke toilet.Â
Khusus untuk toilet siswa laki-laki, juga menggunakan sensor otomatis dan tombol. Usai buang air kecil, air akan mengalir sendiri. Tak ada bau pesing khas toilet. Keren!
Pola hemat air sangat mereka perhatikan. Setiap hari siswa membawa sendiri tumbler ke sekolah. Tempat pengisian air siap minum tersedia di beberapa titik yang tidak berjauhan.Â
Siswa bisa mengisi tumbler mereka atau langsung minum air dari kran. Dengan demikian produksi sampah dari bekas wadah botol air mineral sangat minim.Â
Terkait dengan sampah ini, siswa sangat disiplin untuk tidak memproduksi sampah di sekolah apalagi membuang sampah sembarangan.Â
Setiap hari siswa juga memilah sampah di kelas mereka masing-masing. Sampah dipisahkan menurut jenisnya, yakni kertas, botol lastik, kardus, sampah yang sulit terbakar dan sampah jenis umum.Â
Sampah kertas dikumpulkan untuk kemudian dihancurkan dengan mesin giling kertas.
Semua sampah dikumpulkan dalam kantong sampah khusus. Selanjutnya, setiap usai jam sekolah, perwakilan setiap kelas akan mengumpulkan sampah yang telah dipilah di lantai 1 sekolah untuk selanjutnya ditindaklanjuti oleh pegawai kebersihan sekolah.
Siswa pulang sekolah pada pukul 16:00. Setelahnya, siswa merapikan meja dan kursi serta menyapu kelas. Lalu, hal yang paling luar biasa adalah mereka mengepel lantai kelas dan lorong kelas.Â
Peran siswa laki-laki dan perempuan sama. Tak ada perbedaan. Lorong-lorong sekolah pun tak lupa mereka pel. Kain pel mereka cuci dan meletakkannya pada wadah jemuran sebelum kembali ke rumah.Â
Tak ada paksaan apalagi teriakan wali kelas dan guru untuk kegiatan penataan dan kebersihan kelas ini. Semua sukarela melakukannya sesuai dengan kesepakatan yang telah mereka buat dengan wali kelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H