Kecamatan Simbuang adalah satu-satunya wilayah yang masih masuk kategori tertinggal, terdepan dan terluar (3T) atau yang lebih familiar disebut terpencil di Kabupaten Tana Toraja. Namanya wilayah 3T berarti kualitas pembangunan masih sangat rendah, demikian pula kualitas pendidikan dan kesehatan serta masyarakat kurang berkembang seperti daerah lainnya di Indonesia.
Meskipun saya adalah orang Toraja, Simbuang yang ada dalam pemikiran saya adalah wilayah yang sulit untuk dijangkau dan memiliki banyak cerita mistis.Â
Di kalangan PNS, wilayah Simbuang kental dikenal sebagai tempat "pembuangan." Ya, banyak PNS yang menjadi lawan politik kepala daerah terpilih berujung pada mutasi ke kecamatan terjauh Tana Toraja ini.
Saya mendapatkan kesempatan besar untuk mengenal wilayah yang berbatasan dengan Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat ketika mendapatkan tugas sebagai Pengajar Praktik Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 9 Kabupaten Tana Toraja.
Dari pengalaman melakukan perjalanan 6 kali melakukan pendampingan guru penggerak ke kecamatan Simbuang, beragam cerita telah saya tuliskan di Kompasiana. Mulai dari kondisi ekstrim satu-satunya akses jalan, derita warga mengakses layanan publik, suasana setiap perkampungan, cara hidup warga lokal, kondisi layanan pendidikan hingga sajian pemandangan yang mengobati perjalanan melelahkan.
Sekitar 28 artikel yang telah saya tuliskan tentang Kecamatan Simbuang di Kompasiana. 20 artikel terbit sebagai headline, 1 diantaranya tayang di kompas.com, sisanya terbit dengan status highlight. Â
Semua artikel tentang Simbuang ini saya tuliskan dengan maksud untuk membuka wawasan banyak orang bahwa kondisi kehidupan di Kecamatan Simbuang yang selama ini kaya akan informasi mistis tak selamanya benar.
Hampir semua artikel tersebut membicarakan tentang sisi positif Kecamatan Simbuang, pengecualian pada kondisi-kondisi tertentu yang memang membutuhkan sentuhan pembangunan. Tulisan tentang Kecamatan Simbuang yang paling berkesan adalah pada perjalanan perdana, bulan September 2023. Memulai perjalanan pertama ke wilayah yang sama sekali asing bagi saya, menuju wilayah penuh cerita mistis menyeramkan, berjam-jam dan melintasi hutan tanpa pemukiman seorang diri.
Perjalanan perdana sejujurnya membuat saya was-was. Berangkat sore hari dari kota Makale menuju bagian barat Tana Toraja menyusuri jalanan sepi dengan perubahan model jalan dari aspal ke rabat beton, tanah dan bebatuan sejauh 70 km. Durasi perjalanan normal adalah 4-5 jam di musim kemarau dan bisa mencapai 14 jam di musim hujan. Ruas jalan terberat adalah setelah melewati Lembang Mappa' di Kecamatan Bonggakaradeng.Â
Jalan di tengah hutan tanpa pemukiman dengan kondisi jalan tanah, berbatu, sempit, penurunan menukik tajam dengan jurang menganga di sebelah kiri sejauh kurang lebih 5 km. Di ruas jalan inipun banyak cerita mistis yang saya terima sebelum berangkat. Tetapi, pikiran saya hanya satu, ada Tuhan yang menjaga, fokus di jalan, dan berupya tiba di UPT SMPN Satap 2 Simbuang, Lembang Puangbembe Mesakada untuk menuntaskan tugas pendampingan kepada seorang Calon Guru Penggerak di sana.
Cerita bahwa ada orang yang tiba-tiba hilang sempat membuat bulu kuduk saya merinding ketika mendekati jembatan Sungai Masuppu'. Informasi tentang ular sawah besar yang menelan babi hutan di dekat jembatan pada malam hari. Ya, semoga motor tak mengalami kendala perjalanan.Â
Memang, di sepanjang ruas jalan ini, hanya suara babi hutan yang paling mendominasi. Langit temaram saat itu menuju pukul 6 petang turut membuat cuaca makin dingin, tetapi di balik jaket saya terasa panas.Â
Jalanan berbatu membuat motor melaju sangat pelan. Bahkan kaki saya sudah mulai memar di kedua sisinya karena terantuk bebatuan dan pedal rem.Â
Perjalanan sedikit "menakutkan" tetapi memiliki seninya tersendiri ketika saya bertemu beberapa kawanan kerbau liar, sapi liar dan kuda liar. Kadang saya terkejut karena mata mereka menyala tersorot lampu motor.
Lalu, pada perjalanan pulang keesokan harinya, saya bertemu dengan seorang warga lokal yang kembali dari kota Makale berobat. Ia naik ojek. Namun, ia memilih berjalan kaki dan membiarkan ojeknya berlalu lebih dulu. Kondisi jalan berbatu yang ekstrim memang memaksa penumpang ojek untuk turun dari motor.
Di saat saya sedang mengambil dokumentasi kondisi jalan, ia mengatakan satu kalimat kepada saya.
"Pak guru, tolong jalan kami ini difoto. Sudah puluhan tahun Indonesia merdeka, tetapi kami warga Kecamatan Simbuang seperti tinggal di negeri lain."
Ya, kalimat ini benar. Sesuai dengan pengalaman sehari menjelajahi beberapa tempat di Kecamatan Simbuang, kondisi jalan satu-satunya ke sana  mulai dari kampung Talayo menuju kampung Sa'dan kemudian menanjak ke Kampung Petarian sejauh kurang lebih 10 km sangat ekstrim. Inilah ruas jalan yang selama ini membuat penderitaan warga Kecamatan Simbuang dalam mengakses layanan kesehatan, pendidikan dan perekonomian.Â
Berselang satu bulan setelah perjalanan perdana saya, ada info bahwa Pemprov Sulawesi Selatan akan membangun jalan poros Simbuang, khususnya di sekitar Kampung Talayo menuju Kampung Sa'dan sejauh 5 km. Tanjakan inilah yang membuat anak-anak SD dan SMP dari Simbuang dan Mappak pada awal pelaksanaan ANBK harus berjuang melawan maut.Â
Angin segar berhembus di awal bulan November 2023. Pekerja proyek sudah mulai melebarkan dan meratakan ruas jalan Kampung Talayo menuju Kampung Sa'dan. Saya sempat mendokumentasikan proses pekerjaan jalan tersebut ketika melakukan perjalanan ketiga ke Kecamatan Simbuang. Saya pun menikmati jalan mulus lebar dari tanah di musim kemarau saat itu. Lebar jalan hingga 12 meter.
Hanya saja, mimpi warga Simbuang hingga Mappak untuk menikmati jalan yang layak akhirnya pupus. Baru sekitar 2 km jalan yang dilebarkan, pekerja proyek sudah meninggalkan lokasi. Menurut isu, dana pembangunan jalan tidak ada di APBD provinsi.Â
Jalan Kampung Talayo menuju Kampung Sa'dan pun terbengkalai hingga kini. Jalan yang sudah dilebarkan berangsur-angsur mulai kembali ke kondisi awal. Di tengah jalan sudah mulai terbentuk sungai kecil berbatu ketika musim hujan tiba.Â
Akhir bulan Maret 2024, pada perjalanan pendampingan Calon Guru Penggerak yang terakhir, jalan poros ke Simbuang sudah benar-benar rusak parah. Saat itu saya berangkat seorang diri dalam kondisi hujan. Mulai dari Kampung Talayo menuju Kampung Sa'dan, ruas jalan berubah menjadi sungai membentuk jeram.Â
Dua kali saya terhenti di jalan yang mulai gelap hanya untuk memastikan taka ada longsoran bebatuan yang dibawa air sungai jadi-jadian karena hujan lebat. Saat itu, saya berpikir untuk kembali ke kota Makale, tetapi deadline pendampingan tidak bisa ditunda. Saya putuskan terus mengendarai motor dalam kondisi hujan dan tanpa satu orang pun berpapasan dengan saya.Â
Terhitung dua kali saya terjatuh. Pertama di tanjakan yang menjadi langganan warga terjatuh di Kampung Petarian. Rem kaki motor saya sempat bengkok di sini dan motor tak mau dibunyikan. Pikiran mistis saat itu menghantui saya, karena di titik tersebutlah pernah ada orang hilang, katanya.Â
Kedua, masih di sekitar Kampung Petarian. Ada mobil pick up yang tak kuat mendaki dijalanan berbatu dan becek menutup akses jalan. Oleh karena di pendakian, motor trail yang saya gunakan tak bisa saya seimbangkan karena kaki pendek sementara tak ada pijakan.Â
Puncak penderitaan warga Simbuang terjadi pada bulan April-Mei 2024 ketika bencana tanah longsor dan hujan lebat melanda hampir seluruh wilayah Tana Toraja. Khusus di jalan poros Makale-Simbuang, lebih dari 60 titik longsor parah terjadi. Warga terisolasi full 1 bulan.Â
Tak ada bahan pangan yang bisa lewat. Hingga dua kejadian menyedihkan terjadi ketika satu warga harus ditandu sejauh puluhan kilometer untuk berobat ke kota Makale. Tak berselang lama, satu orang ibu hamil yang awalnya dirujuk ke RSUD di kota akhirnya melahirkan di tengah jalan. Kandungannya labil karena terguncang jalanan di atas sadel ojek. Bayinya tak tertolong dan meninggal.Â
Setelah kejadian ini, demonstrasi dan aksi simpatik menuntut pembangunan di Kecamatan Simbuang kepada Pemprov Sulsel dan Pemda Tana Toraja berulang kali terjadi. Perbaikan jalan pun kemudian dilakukan secara swadaya oleh pastor gereja Katolik di Simbuang dan diikuti pemerintah  Lembang Makkodo sesudahnya. Alat berat saat itu harus diakui sulit beroperasi karena sulitnya medan untuk membawa bahan bakar solar.Â
Berbicara tentang kondisi pendidikan, siswa di Simbuang sebenarnya rajin ke sekolah. Hanya saja, kadang di sekolah tak ada guru. Kalaupun ada yang datang hanya beberapa saja. Sehingga, siswa datang pukul 7:30 akan kembali sekitar pukul 9 atau 10. Khusus di sekolah tempat saya berkunjung, masih beruntung memiliki beberapa guru pendatang yang setia melayani pendidikan di sana. Mereka tinggal di 3 bangunan bekas ruang kelas.Â
Oleh karena banyak lingkungan sekolah di sekitar Kecamatan Simbuang yang masih tidak memiliki pagar pengaman yang memadai, maka kondisi sekolah pun masih diramaikan oleh ternak-ternak liar. Tidak mengherankan, kawanan kerbau pun akan masuk ke ruang-ruang kelas. Di sana kerbau tersebut juga menikmati "belajar" cara meninggalkan kotoran di dalam ruang kelas dan laboratorium. Tak perlu ditanyakan bagaimana kondisi emper sekolah dan halamannya.
Jaringan telepon dan internet pun sangat terbatas. Menggantung handphone di tempat tertentu sudah menjadi kebiasaan demi mendapatkan jaringan. Untuk kegiatan PPG dan pendidikan guru penggerak, guru harus mendaki bukit untuk mendapatkan jaringan internet stabil. Mereka uji nyali di sana dengan membuat tenda seadanya, tahan dingin dan rasa takut dari cerita mistis serta gangguna ternak liar, khususnya kuda liar yang kadang mengejar mereka.
Kenangan lain yang tak terlupakan adalah adanya beberapa pagar pembatas jalan yang oleh warga setempat disebut sulu'. Pagar yang terbuat dari kayu atau bambu ini bertujuan untuk menghalangi ternak liar agar tidak masuk ke pemukiman warga.Â
Turun dari kendaraan, membuka dan menutup kembali sulu' wajib dilakukan. Ini adalah bagian dari menghargai kearifan lokal setempat.
Oya, godaan guru PPPK, CPNS dan PNS yang ditempatkan di Kecamatan Simbuang untuk mencari celah mutasi selalu marak. Mereka tak betah dengan alasan banyak magic di sana, khususnya yang di Lembang Puangbembe Mesakada. Sebenarnya, pola hidup warga lokal yang sebagian besar masih menganut kepercayaan Alukta inilah yang membuat suasana mistis itu ada. Sebenarnya tujuannya baik demi ketenangan dan kesejahteraan hidup warga.Â
Program Pendidikan Guru Penggerak yang sampai ke Kecamatan Simbuang pada akhirnya sedikit demi sedikit mengubah paradigma berpikir para guru dan pemangku kepentingan di sekolah. Perubahan terhadap pembelajaran telah ada perubahan, walaupun harus diakui sulit mengubah pola yang telah ada selama ini.
Kehadiran listrik adalah salah satu kerinduan warga Simbuang selama ini. Memang sudah ada listrik tenaga surya, genset dan turbin. Tetapi dayanya seringkali kembung-kempis seperti kunang-kunang karena kekurangan daya.
Satu waktu saya dan guru-guru di penginapannya harus menggunakan lilin untuk makan malam karena turbin rusak. Padahal, menu makan saat itu adalah yang pertama ternikmat yang saya makan selama berada di Kecamatan Simbuang.Â
Dalam perjalanan saya selama tujuh kali dalam tujuh bulan, tiang-tiang listrik sudah lama berdiri. Hanya saja tak pernah ada kelanjutan pemasangan kabel dan pemasangan instalasi ke rumah-rumah warga. Sekelompok warga pun mulai pesimis dan berujar bahwa sudah kebiasaan di Simbuang mendapat janji-janji palsu kampanye politik.
Gayung bersambut. Pihak PLN Wilayah Sulselbar akhirnya mewujudkan mimpi warga Simbuang pada bulan Juni 2024. Ribuan kepala keluarga akhirnya bisa menikmati aliran listrik milik plat merah negara ini.Â
Kini jalan poros Kecamatan Simbuang menuju Kecamatan Mappak sudah terang-benderang di malam hari. Dengan catatan, tidak ada tanah longsor atau pohon tumbang yang merusak fasilitas PLN.Â
Semoga kehadiran listrik PLN ini akan segera didukung oleh pembangunan akses jalan poros ke Kecamatan Simbuang-Kecamatan Mappak, mulai dari Lembang Mappa' di Kecamatan Bonggakaradeng hingga ke perbatasan Kabupaten Mamasa.Â
Besar harapan saya, bahwa ke depan istilah yang selama ini digunakan warga Simbuang dan Mappak ketika ditanya di jalan bisa berangsur-angsur berubah. Istilah tersebut adalah la malekan tama Toraya (kami mau ke Toraya).
Frase ini sarat makna. Pertama, warga Simbuang beranggapan bahwa mereka bukanlah orang Toraja. Mereka lebih condong sebagai orang Mamasa. Fakta ini diperkuat dari model bahasa, dialek, bangunan, ukiran, tenun dan kebiasaan hidup.Â
Kedua, la malekan tama Toraya mengandung makna bahwa Toraja itu adalah negeri lain bagi mereka. Hingga saat ini ketika orang-orang tua Simbuang ditanya di jalan, dari mana, maka jawabnya sule lan kan mai Toraya (kami kembali dari Toraya).
Warga Kecamatan Simbuang dan Kecamatan Mappak adalah orang Toraja. Mereka bukan warga yang dianaktirikan di negeri ini. Angkatan muda mereka yang ada di bangku sekolah juga berhak menerima layanan pendidikan yang memadai. Mereka tak perlu migrasi ke kota untuk menumpang di keluarga atau orang lain di luar famili mereka demi mengenyam pendidikan yang layak.
Mari ke pulau baru beli ketupat nikmat pukul sebelas
Dari Pulau Jeju kuucapkan selamat ulang tahun Kompasiana ke-16Â
Yulius Roma Patandean
Kota Jeju, Pulau Jeju, Korea Selatan, 7 Oktober 2024
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI