Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Cerita Perjalanan: Ketika Warga Kecamatan Simbuang Belum Merdeka

7 Oktober 2024   18:06 Diperbarui: 10 Oktober 2024   13:17 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Dokumentasi PLN Wilayah Sulselbar)

Perjalanan perdana sejujurnya membuat saya was-was. Berangkat sore hari dari kota Makale menuju bagian barat Tana Toraja menyusuri jalanan sepi dengan perubahan model jalan dari aspal ke rabat beton, tanah dan bebatuan sejauh 70 km. Durasi perjalanan normal adalah 4-5 jam di musim kemarau dan bisa mencapai 14 jam di musim hujan. Ruas jalan terberat adalah setelah melewati Lembang Mappa' di Kecamatan Bonggakaradeng. 

Jalan di tengah hutan tanpa pemukiman dengan kondisi jalan tanah, berbatu, sempit, penurunan menukik tajam dengan jurang menganga di sebelah kiri sejauh kurang lebih 5 km. Di ruas jalan inipun banyak cerita mistis yang saya terima sebelum berangkat. Tetapi, pikiran saya hanya satu, ada Tuhan yang menjaga, fokus di jalan, dan berupya tiba di UPT SMPN Satap 2 Simbuang, Lembang Puangbembe Mesakada untuk menuntaskan tugas pendampingan kepada seorang Calon Guru Penggerak di sana.

Cerita bahwa ada orang yang tiba-tiba hilang sempat membuat bulu kuduk saya merinding ketika mendekati jembatan Sungai Masuppu'. Informasi tentang ular sawah besar yang menelan babi hutan di dekat jembatan pada malam hari. Ya, semoga motor tak mengalami kendala perjalanan. 

Memang, di sepanjang ruas jalan ini, hanya suara babi hutan yang paling mendominasi. Langit temaram saat itu menuju pukul 6 petang turut membuat cuaca makin dingin, tetapi di balik jaket saya terasa panas. 

Jalanan berbatu membuat motor melaju sangat pelan. Bahkan kaki saya sudah mulai memar di kedua sisinya karena terantuk bebatuan dan pedal rem. 

Perjalanan sedikit "menakutkan" tetapi memiliki seninya tersendiri ketika saya bertemu beberapa kawanan kerbau liar, sapi liar dan kuda liar. Kadang saya terkejut karena mata mereka menyala tersorot lampu motor.

Lalu, pada perjalanan pulang keesokan harinya, saya bertemu dengan seorang warga lokal yang kembali dari kota Makale berobat. Ia naik ojek. Namun, ia memilih berjalan kaki dan membiarkan ojeknya berlalu lebih dulu. Kondisi jalan berbatu yang ekstrim memang memaksa penumpang ojek untuk turun dari motor.

Di saat saya sedang mengambil dokumentasi kondisi jalan, ia mengatakan satu kalimat kepada saya.

"Pak guru, tolong jalan kami ini difoto. Sudah puluhan tahun Indonesia merdeka, tetapi kami warga Kecamatan Simbuang seperti tinggal di negeri lain."

Ya, kalimat ini benar. Sesuai dengan pengalaman sehari menjelajahi beberapa tempat di Kecamatan Simbuang, kondisi jalan satu-satunya ke sana  mulai dari kampung Talayo menuju kampung Sa'dan kemudian menanjak ke Kampung Petarian sejauh kurang lebih 10 km sangat ekstrim. Inilah ruas jalan yang selama ini membuat penderitaan warga Kecamatan Simbuang dalam mengakses layanan kesehatan, pendidikan dan perekonomian. 

Jalan poros Simbuang yang sempat dikerjakan dan kembali terbengkalai. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Jalan poros Simbuang yang sempat dikerjakan dan kembali terbengkalai. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun