Perjalanan hiking mendaki Gunung Halla menuju puncak Witse Oreum (Puncak gunung tertinggi kedua di Pulau Jeju) memberikan pemandangan yang menakjubkan. Di sisi lain sejumlah materi pendidikan terkait kelestarian flora dan fauna serta vegetasi juga menjadi pengalaman yang tak ternilai.
Satu lagi, penerapan teknologi dalam mengontrol aktifitas di jalur pendakian. CCTV terpasang di beberapa titik strategis. Nomor telepon darurat, ketersediaan air minum, petunjuk jalur yang sangat jelas, tanda-tanda peringatan serta pembelajaran akan pentingnya menjaga kebersihan jalur pendakian dari perilaku merusak tanaman, habitat dan membuang sampah sembarangan.
Mencapai titik 1.400 mdpl sedikit demi sedikit membuka kepadatan pepohonan yang menutupi jalur dari Eorimok Valley. Punggung pegunungan biru gelap Hallasan sudah mulai terlihat. Â Keringat sudah basah di sekujur badan. Namun, cuaca di titik ini sekitar 19 derajat celcius justru membuat badan tetap sejuk.
Jalur tanjakan berupa balok-balok kayu besar kini masih mendominasi. Pijakan kaki berupa ribuan anak tangga inilah yang memberikan tantangan tersendiri.Â
Setiap kali melangkah, ada dorongan tenaga untuk kedua kaki. Lutut, paha dan betis benar-bebar diuji ketahanannya.
Dahaga mendaki tanjakan juga seperti tidak tergoda. Di depan saya tiga orang perempuan dengan nafas tersengal memberikan saya jalan untuk lewat.
"Annyeonghaseyo," saya menyapa mereka dan membalasnya dengan ucapan yang sama.
Oya, saya tidak bisa bebas mengambil dokumentasi berupa video. Hanya saya rekam jika memang saya sedang sendirian tanpa ada pendaki lain. Privasi warga setempat sangat saya jaga. Kecuali mereka telah memberi izin, maka wajahnya ada dalam foto dan video.
Akhirnya saya mendapat bonus perjalanan setelah menanjak sejauh 1,8 km dari Eorimok Valley. Jalan berupa papan kayu kini menjadi pijakan kaki. Betis pun seperti bahagia menyambut jalur landai ini.Â
Di sekitar tempat ini terdapat satu bukit indah pertama, bernama Sajebidongsan Hill. Berada pada ketinggian 1423 mdpl. Ini adalah tempat pertama yang saya sebut sebagai surga kecil di atas Pulau Jeju, Korea Selatan. Vegetasi tumbuhan yang semula rapat sekali oleh pepohonan, kini mulai terbuka.
Langit biru dengan awan putih kelabu sudah tepat di atas kepala. Kabut tebal membawa tetesan air hujan pun silih berganti menyelimuti badan dan pandangan.
Suara nyanyian burung gagak berbulu hitam gelap mulai ramai. Seolah menyambut saya yang juga berpakaian serba hitam. Memang, jenis burung ini ada di berbagai tempat di Pulau Jeju, termasuk di tengah kota.
Berada di sekitar Sajebidongsan Hill, artinya, saya sudah berjalan menempuh jarak 2,4 km. Saya melihat aplikasi handphone, sudah lebih dari 10 ribu langkah yang tercatat. Ya, hal ini wajar karena berulang kali saya melangkah dalam langkah kecil menapaki anak tangga bebatuan vulkanik dan balok kayu besar.
Sekitar 100 meter di depan, ada satu sumber mata air yang bisa diminum langsung. Air jernih mengalir deras dari pipa ukuran setengah inchi.Â
Tempat mengambil air minum ini pun bisa dijadikan sebagai tempat istirahat sementara. Sambil minum, bisa menikmati pemandangan alam terbuka dengan hiasan pinus dan cemara.
5 gayung kecil stainlees steel tersedia sebagai wadah minum. Saya segera minum. Segar dan dingin. Mirip air es. Setelahnya saya mengisi botol minuman saya.Â
Saya berpapasan dengan sekelompok turis. Saya berbincang dengan beberapa orang. Ternyata mereka dari Prancis. Mereka sangat ramah.Â
Satu dari mereka saya persilahkan minum air dari mata air. Ia sempat menganggap saya sebagai influencer karena saya saat itu sedang merekam video.
Saya salut, karena sebagian besar lansia. Beberapa diantaranya perempuan. Fisik mereka kuat. Mereka naik dari jalur Yeongsil dan turun lewat Eorimok.
Semangat saya menggebu. Lansia saja kuat mendaki, saya masih cenderung muda dan fisik masik kuat harus mampu.
Peringatan akan kondisi di jalur ini yang rentan perubahan cuaca benar-benar terwujud. Tiba-tiba langit mulai gelap kembali dan kabut langsung menutupi area sekitar sumber mata air.
Saya terus berjalan tak peduli dengan pakaian yang sudah mulai basah. Hingga saya tiba pada ketinggian 1.500 mdpl membawa saya tiba di alam yang benar-benar terbuka, meski masih sedikit menanjak. Tapi jalur dari batu vulkanik kokoh dipijak kaki.Â
Setelah titik air minum, satu bukit bernama Mansedongsan Hill ada di depan saya.
Namun, cuaca yang tak terprediksi datang lagi. Kabut tebal membawa tetesan air hujan kembali hadir. Pemandangan menawan di Mansedongsan Hill (1606 mdpl) sontak hilang dari pandangan. Â Sebenarnya terdapat tempat beristirahat yang bisa dimanfaatkan sebagai tempat mengambil dokumentasi di sini. Bahkan, pemandangan kota Jeju bisa dilihat dari sini sekiranya tidak ada kabut tebal yang datang tiba-tiba.
Saya mengurungkan niat untuk berhenti karena kabut masih tebal dan hujan rintik-rintik. Beberapa pendaki terlihat santai menggunakan payung menuju spot berfoto. Mereka seolah tidak peduli dengan kabut dan hujan. Â Memang tidak akan ada tempat berteduh hingga 2,3 km ke depan.
Tak lama berselang, langit kembali terbuka. Dan.... hamparan pemandangan alam terbuka sangat mempesona. Reremputan dan hampir semua tanaman terlihat mulai menguning. Memperkuat status musim gugur yang sementara berlangsung. Pohon-pohon pinus, cemara dan beberapa pohon lainnya menambah keindahan suasana.
Jalur hiking di sekitar Mansedongsan Hill sangat landai dengan panjang 0,8 km. Saya kembali bertemu turis Prancis di jalur ini.Â
Oleh karena metode pendakian ke Hallasan National Park ini dikemas dalam konsep wisata, jalur hiking yang ramah semua umur dan kalangan memang disiapkan sebaik mungkin. Tali untuk berpegang ada di dua sisi jalur, sekaligus tanda larangan keluar lintasan.
Kabut lagi-lagi menutupi area sekitar. Kali ini bukan rintik-rintik lagi yang turun. Benar-benar hujan. Saya tetap melangkah sambil mengamankan handphone dan dompet. Cover tas saya pasang untuk melindungi passport dan data lainnya.
Hujan dan kabut tebal hanya berlangsung sekitar 5 menit. Pakaian mulai basah. Seolah langit membuka tirai, langit gelap mulai cerah kembali Setelahnya alam sekitar kembali terbuka.
Beberapa pendaki yang turun lengkap dengan mantel. Kami saling menyapa dan terus melangkah kembali.
Tanda-tanda puncak Gunung Halla belum kelihatan. Meskipun sudah ada satu puncak yang kelihatan di depan. Semangat saya kembali terpacu. Mendapatkan area yang mulai landai kembali, saya terpana lagi dengan pemandangannya. Perpaduan kabut yang terus bergerak dengan sabana luas berpadu dengan sedikit pepohonan sangat menakjubkan.
Saya kembali teringat bahwa durasi pendakian naik dan turun di jalur Eorimok Hiking Trail ini sekitar 6-8 jam.
Ketika tiba di jalur yang benar-benar rata, terlihat dari kejauhan tiga puncak berderet. Satu yang berhiaskan bebatuan hitam adalah benteng di balik kawag Baengnokdam. Sayangnya, jalur Eorimok sudah ditutup untuk menjangkau puncak tertinggi di Korea Selatan itu.
DI jalur tersisa sekitar 1,5 km menuju Witse Oreum shelter, view yang benar-benar saya sebut surga akan tersaji.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H