Kehadiran orang tua pada masa penting pertumbuhan dan perkembangan anak sangat penting. Terutama pada kondisi saat ini di mana anak-anak lahir, berproses dan bertumbuh di era teknologi informasi dan digital yang semakin masif.Â
Bahkan, boleh dikatakan sejak calon anak berproses dari jabang bayi, orang tua sudah hidup dengan digitalisasi. Sembilan bulan dalam kandungan, anak telah secara tidak langsung hidup dengan teknologi digital karena aktifitas ibunya.
Ketika anak lahir pun, ia langsung diperkenalkan ke dunia luas lewat postingan wajahnya di dunia maya via media sosial. Sehingga tidak mengherankan, anak-anak bertumbuh dalam lingkungan teknologi digital.
Orang tua sibuk bukan hanya dengan pekerjaan, tetapi sibuk beraktifitas dengan gadget. Anak pun secara alamiah terbawa suasana. Terlebih sudah terjadi sejak dalam kandungan.
Sudah lumrah dan umum, anak generasi Alpha sering bermain sendiri dengan bekal gadget dari orang tuanya. Bukan hanya beberapa menit, bisa hingga berjalan-jam.Â
Seiring perjalanan waktu, ada jurang menganga tercipta antara orang tua dan anak. Terlebih jika kedua orang tua anak sama-sama sibuk karena pekerjaan. Anak dititipkan pada orang tua, pengasuh anak atau keluarga lainnya.Â
Banyak kondisi yang membuata hubungan emosional anak dan orang tua tidak berjalan dengan natural. Misalnya, anak masih tidur, orang tua berangkat kerja. Kondisi yang sama terjadi ketika orang tua tiba di rumah. Lalu, anak cenderung akrab dengan smartphone atau dengan orang yang mengasuhnya.Â
Saya pernah mengalami kondisi ini di masa kehadiran anak pertama. Saya dan istri sama-sama PNS. Setelah masa cuti istri berakhir dalam 3 bulan, anak sesekali kami titipkan di keluarga sepanjang hari atau memanggil keluarga dekat lainnya sebagai penjaga anak.Â
Beragam cerita terjadi. Beberapa kali ganti pengasuh. Ada yang sukarela dan ada pula yang diberi uang lelah. Oleh karena anak pertama, saya pribadi memiliki kerinduan tersendiri dengan anak. Saya tidak menginginkan anak saya memiliki hubungan yang renggang denfan orang tuanya. Hingga pada akhirnya saya dan istri mengambil kesimpulan, sebaiknya kami mengatur waktu sedemikian rupa agar kami yang mendampingi anak dalam masa pertumbuhan. Kami perlu menerapkan pola asuh anak yang membutuhkan kami tenang dan kami bisa menyaksikan pertumbuhan anak setiap saat.
Memasuki usia 4 bulan, kami mulai bergantian mengasuh anak dengan cara membawanya ke kantor. Oleh karen saya adalah guru, maka kemudian saya yang paling dominan membawa anak ke sekolah. Kecuali terlalu sibuk di sekolah atau ada tugas luar, istri yang bertanggung jawab membawanya.
Kondisi ini berlangsung hingga anak kedua hadir dalam keluarga kami. Secara pribadi, kedua anak lebih lengket ke saya. Hampir setiap hari mereka bersama saya ke sekolah sejak usia 4 bulan hingga menginjak usia sekolah.Â
Setiap waktu makan malam, kami upayakan makan bersama-sama. Di sinilah waktu yang penting mendengar cerita dan celoteh anak seharian. Lambat laun hubungan emosional terjaga di antara kami.
Pada kesempatan tertentu setiap minggunya, kami menyiapkan waktu untuk makan bersama di luar rumah. Intinya, ada waktu jalan-jalan meskipun hanya di lingkungan sekitar. Biasanya kami lakukan setelah pulang ibadah hari Minggu. Kami yang bertanya ke mana mereka mau pergi.Â
Terkait penggunaan smartphone, saya memiliki kesepakatan tersendiri dengan anak. Ada waktu khusus saya siapkan untuk anak pertama yang telah bersekolah. Misalnya, ia diberi kesempatan bermain game seusai belajar dan mengerjakan PR selama satu jam.
Secara berkala pula, lewat pendekatan bercerita tentang dampak buruk HP pada kesehatan, kedua anak saya konsisten meninggalkan HP ketika telah menatap layar selama 10-20 menit.
Kami pun tak luput dari kebersamaan bekerja di rumah. Menyapu rumah, cuci piring, cuci pakaian atau membersihkan kendaraan. Ketika anak menawarkan diri membantu, saya berikan. Kapan lagi kami akan bermain dan bekerja bersama.
Dan cerita unik terjadi ketika saya akan berangkat ke Jakarta untuk selanjutnya menuju Pulau Jeju, Korea Selatan dalam rangka menjalankan program pertukaran guru Asia Pasifik. Saya yang meneteskan air mata saat memeluk putri saya (anak kedua) di bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Â
Ini pertama kalinya saya akan berpisah lama dengan anak-anak. Biasanya maksimal 10 hari ketika ada perjalanan dinas pelatihan di Pulau Jawa. Kali ini kami terpisah 3 bulan.
Hubungan emosional yang telah terjaga dalam kondisi nyaman  dengan anak membuat ketegaran jiwa saya guncang ketika berpisah.
Hingga saat ini, saya memasuki minggu keempat tidak bersama anak-anak dalam dunia nyata. Namun, kehadiran teknologi digital membuat kami tetap terkoneksi setiap hari lewat video call. Jiwa saya tenang melihat anak-anak tetap ceria di Indonesia.Â
Mereka hanya berterima, "Papa, bawa saya ke Bali."
Ya, saya akan menyanggupi mimpi mereka. Bagaimanapun kedua anak saya sangat ingin naik pesawat seperti yang mereka lihat dalam foto dan video yang. saya kirimkan.Â
Saya tidak akan melewatkan waktu terbaik bersama mereka di masa pertumbuhan. Ketika mereka kelak sudah memasuki usia remaja, kuliah, dewasa dan mungkin berumah tangga, hampir dipastikan tak ada waktu untuk bersama mereka.
Pada akhir tulisan ini, bonding anak-anak dengan kami sangat kuat dan kerenggangan anak dengan orang tua sama sekali tidak terjadi dalam kehidupan rumah tangga kami sejauh ini. Kebersamaan kami berhasil menjaga kehangatan emosional meskipun tiap hari kami beraktifitas pula dengan gadget.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H