Berbicara tentang es krim tradisional, jujur saja kenikmatannya belum bisa tergantikan oleh kehadiran ratusan varian es krim di zaman modern. Keunggulan es krim jadul adalah bahan dasar yang alamiah dan proses pembuatannya yang masih tradisional.Â
Masih jelas dalam ingatan saya, dua jenis es yang tiada bandingnya dari segi rasa. Tahun 1992 saat duduk di bangku SD, tidak banyak pilihan es di Tana Toraja. Setiap hari hanya satu gerobak dorong yang melintasi kampung.Â
Sebagai informasi, kehadiran es di Toraja dipelopori oleh para perantau dari tanah Jawa. Mereka berdomisili di wilayah Kabupaten Enrekang. Setiap hari, mereka rutin menjelajahi jalan trans Sulawesi sejauh kurang lebih 40 km pergi-pulang dengan gerobak dorong menjajakan es. Kondisi jalan saat itu masih berlubang, kecil dan berdebu.
Sembari bermain di pinggir sungai yang masih alami sepulang sekolah, jauh dari arah selatan terdengan bunyi gong kecil dipukul-pukul. Itulah tanda gerobak es potong yang populer kami sebut es tontong akan segera lewat.Â
Es tontong versi Toraja tahun 1990-an ini berupa es lilin setinggi kurang lebih 30 cm. Kemudian dipotong-potong menjadi empat bagian. Setiap potongan ditusuk dengan lidi dari bambu. Harga sepotong es tontong kala itu Rp. 50 saja. Oleh karena uang Rp. 25 masih berlaku, maka es seharga Rp. 50 masih bisa dibagi dua lagi.Â
Sensasi es potong tontong ini sudah dimulai ketika mas penjual dari pulau Jawa mulai memotongnya di gerobak. Tetesan warna gula merah bersama percikan es batu seolah mengajak mulut untuk segera meronta mencicipinya.Â
Warna es satu saja. Menyerupai warna baju pramuka.Â
Es menjadi makanan mahal di kampung di awal tahun 1990-an. Warga belum mengenal kulkas oleh karena jaringan listrik belum tersedia.
Uniknya lagi, es potong ini tidak mudah meleleh. Inilah alasannya sehingga kami menyebutnya es tontong. Tontong artinya tidak berubah. Jadi, istilah tontong bukan berasal dari bunyi gong tong-tong.Â
Rasa manisnya tiada duanya. Saya yakin, saat itu belum ada pewarna yang digunakan selain kombinasi air dan gula merah. Inilah yang membuatnya sangat legendaris hingga kini.Â
Lalu, setiap hari pasar, yakni hari Sabtu ada es dung-dung yang lebih populer kami sebut es karruk-karruk. Disebut es karruk-karruk karena ketika diambil dari wadahnya yang berupa gentong aluminium seperti orang menggaruk.
Dalam bahasa Toraja, karruk berarti menggaruk atau mencakar. Kerumunan segala usia akan mengitari penjual es bertubuh gempa setiap hari pasar.
Satu buah es karruk-karruk dengan wadah kerupuk gandum dijual seharga Rp. 50. Untuk wadah roti, dijual seharga Rp. 100.
Rasa es krim tradisional ini manis dan segar. Rasa yang ditawarkan adalah campuran susu dan coklat.Â
Keberadaan es karruk-karruk ini sama posisinya dengan es tontong yang tak tergantikan di dalam sejarah penjual es di Tana Toraja.Â
Sebenarnya es karruk-karruk ini sama saja dengan es serut yang masih ada hingga kini. Berbagai varian rasa sudah tersedia saat ini seiring perkembangan kreatifitas pembuat es krim.
Kedua varian es dengan gaya penjualan yang sangat tradisional saat itu bertahan hingga tahun 1993. Populernya dua jenis ini karena saat itu kampung belum dialiri listrik. Pembuatan es masih sangat tradisional.Â
Memasuki tahun 1994, es tontong mulai tergeser oleh kehadiran es lilin dan es mambo. Sementara es karruk-karruk masih bertahan hingga kini dengan metode penjualan yang berubah seiring perkembangan jalan raya dan teknologi, yakni menggunakan gerobak dorong, sepeda dan sepeda motor.Â
Lalu, es Miami mulai dipasarkan di Tana Toraja tahun 1997 seiring dengan telah adanya aliran listrik PLN. Sudah ada satu warga yang memiliki kulkas es. Maka, setiap hari kami berbondong-bondong ke rumah satu-satunya yang memasok es Miami saat itu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H