Lalu, setiap hari pasar, yakni hari Sabtu ada es dung-dung yang lebih populer kami sebut es karruk-karruk. Disebut es karruk-karruk karena ketika diambil dari wadahnya yang berupa gentong aluminium seperti orang menggaruk.
Dalam bahasa Toraja, karruk berarti menggaruk atau mencakar. Kerumunan segala usia akan mengitari penjual es bertubuh gempa setiap hari pasar.
Satu buah es karruk-karruk dengan wadah kerupuk gandum dijual seharga Rp. 50. Untuk wadah roti, dijual seharga Rp. 100.
Rasa es krim tradisional ini manis dan segar. Rasa yang ditawarkan adalah campuran susu dan coklat.Â
Keberadaan es karruk-karruk ini sama posisinya dengan es tontong yang tak tergantikan di dalam sejarah penjual es di Tana Toraja.Â
Sebenarnya es karruk-karruk ini sama saja dengan es serut yang masih ada hingga kini. Berbagai varian rasa sudah tersedia saat ini seiring perkembangan kreatifitas pembuat es krim.
Kedua varian es dengan gaya penjualan yang sangat tradisional saat itu bertahan hingga tahun 1993. Populernya dua jenis ini karena saat itu kampung belum dialiri listrik. Pembuatan es masih sangat tradisional.Â
Memasuki tahun 1994, es tontong mulai tergeser oleh kehadiran es lilin dan es mambo. Sementara es karruk-karruk masih bertahan hingga kini dengan metode penjualan yang berubah seiring perkembangan jalan raya dan teknologi, yakni menggunakan gerobak dorong, sepeda dan sepeda motor.Â
Lalu, es Miami mulai dipasarkan di Tana Toraja tahun 1997 seiring dengan telah adanya aliran listrik PLN. Sudah ada satu warga yang memiliki kulkas es. Maka, setiap hari kami berbondong-bondong ke rumah satu-satunya yang memasok es Miami saat itu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H