Pengguna Co-working space pada umumnya pegawai kantoran. Sedikit tampak bonafide di sana.Â
Kontradiktif ketika pengguna memilih warkop dan cafe. Spot ini justru diramaikan oleh mahasiswa dan masyarakat umum. Mereka menjadi pengguna soliter dan kelompok kecil. Selain menikmati makanan ringan sambil ngetik di laptop, aksi makan bersama pun sering dilakukan, terutama jika memilih ruang kerja bersama sesaat di cafe.Â
Pengalaman berulang kali bekerja mandiri di warkop dan cafe, terkait durasi waktu bekerja sebenarnya tidak dibatasi. Hanya saja, tentu ada perasaan kurang sreg ketika bekerja berjam-jam padahal belanja cuma sebotol air mineral, secangkir kopi pahit dan sepiring pisang goreng. Sementara sejumlah pengunjung sudah mengantri.Â
Seringkali pula, didapati bahasa tubuh menolak dari pemilik warkop atau cafe ketika terlalu lama penggunanya duduk beekerja di depan laptop tanpa belanja makanan lain selain snack.Â
Namun, pada umumnya, saat ini warkop, cafe dan Co-working space itu sendiri sedang dalam persaingan menjaring pelanggan. Menu variatif, terjangkau, tempat fleksibel dan ditunjang parkiran gratis sedikit banyak mempengaruhi animo pengunjung.Â
Di Tana Toraja sendiri belum ada fasilitas Co-working space. Puluhan warkop dan cafe justru mendominasi sebagai tujuan mereka yang ingin bekerja lepas dan santai sambil mengecap aneka pilihan suguhan kopi, teh, jus dan gorengan.Â
Barangkali ini tantangan bagi Pemda untuk membuka Co-working space di bawah kendali pegawai plat merah. Harga makan dan.minum normal, tetapi sewa ruang gratis dengan WiFi gratis pula. Bagaimanapun juga aktifnya pengguna Co-working space tergantung pula pada ketersediaan jaringan internet yang berkualitas dan gratis.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H