Jalur zonasi dan jalur afirmasi pada pendaftaran peserta didik baru (PPDB) jenjang SMA secara online masih berlangsung, khususnya di provinsi Sulawesi Selatan. Temuan saya selalu salah satu panitia PPDB di sekolah, setiap hari memiliki cerita, masalah dan keunikannya tersendiri.Â
Dan seperti pada tahun-tahun sebelumnya, bukan PPDB online jika tak menimbulkan kontroversi. Tetapi patut disyukuri, potensi kericuhan dan demonstrasi tidak ada selama adanya kontroversi.Â
Kontroversi paling banyak adalah upaya pemalsuan alamat rumah, pemalsuan jarak rumah, pemalsuan data Kartu Keluarga dan pindah KK sebagai upaya lolos jalur zonasi.Â
Kejadian klasik PPDB online ini seperti sudah lumrah setiap tahun. Sehingga juknis dan syarat PPDB pun selalu menyesuaikan dengan upaya "kecurangan" yang ada.Â
Namun, tahun ini saya mendapatkan sekitar 3 kasus unik yang selama ini belum pernah terjadi dalam proses verifikasi berkas pendaftaran PPDB. Saya mengangkat satu saja mewakili yang lainnya.Â
Satu calon peserta didik baru datang dengan kepolosannya. Ia ditemani oleh seorang ibu paruh baya. Setelah mendapatkan nomor antrian, ia pun menunggu giliran untuk dilayani verifikasi berkasnya.Â
Saya yang mendapatkan kesempatan melakukan verifikasi berkasnya. Dokumen bukti pendaftaran, pakta integritas, surat pernyataan, surat keterangan telah mengikuti ujian sekolah hingga akte kelahiran sesuai dengan ketentuan. Tiba pada Kartu Keluarga, ditemukanlah satu masalah yang tergolong langka dan unik.Â
Hanya ada 2 orang dalam KK. Satu kepala keluarga dalam hal ini ibunya dan anak bersangkutan. Lalu, pada kolom satunya, ada keterangan kawin tidak resmi. Saya sempat bertanya pada anak bersangkutan tentang riwayat orang tuanya. Singkatnya, ia tidak mengenal wajah ayah kandungnya.Â
Uniknya lagi, nama ayahnya tercantum dalam akte kelahiran. Di sinilah letak permasalahannya. Ada data kontras pada akte kelahiran dan kartu keluargakeluarga, Â yakni keberadaan nama sang ayah.Â
Merujuk pada juknis PPDB, sang anak sudah tertolak. Bahkan ia sudah ditolak berkas pendaftarannya di sekolah pilihan pertama terdekat dari rumahnya. Hal yang sama pun ditemuinya di sekolah pilihan kedua, di mana saya menjadi panitia.Â
Pada bagian verifikasi berkas, saya meloloskannya. Namun, ia terhambat ketika berada di depan operator. Perbedaan data akte lahir dan KK menjadikan proses daftarnya tertunda.Â
Beruntung, berkas tersebut ditandai untuk kami tindaklanjuti. Pada sore hari setelah pelayanan verifikasi berkas, kepala satuan pendidikan selaku penanggung jawab mengadakan rapat evaluasi bersama seluruh panitia.Â
Salah satu kasus yang terungkap adalah kasus anak tadi. Selanjutnya, kami mencari informasi terkait anak tersebut. Kebetulan ada satu guru di sekolah yang bertetangga dengannya. Berdasarkan informasi dari guru tersebut, memang benar adanya kondisi sang anak.
Setelah menerima semua masukan, kami sepakat menerima verifikasi berkas anak tersebut dengan dasar kemanusiaan. Tak semua anak beruntung memiliki orang tua yang lengkap dan resmi.Â
Meskipun bertentangan dengan juknis PPDB, tetapi kami semua siap bertanggungjawab pada pengumuman kelulusan jalur zonasi nantinya. Situasi tersebut tak terkover dalam juknis PPDB.Â
Kejadian pada anak tersebut sudah mewakili kondisi yang sama pada dua kasus lainnya. Sekolah wajib menerima mereka. Memang situasi ini membawa kami panitia PPDB dalam dilema etika yang berat. Antara ikut juknis atau mengutamakan kemanusiaan. Terlebih, ada program gubernur Sulawesi Selatan yang mewajibkan sekolah menjemput anak putus sekolah. Maka tindakan kami menerima anak dengan status perkawinan orang tua yang tak resmi telah membantu mengurai angka putus sekolah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H