Satu hari berikutnya, pelepasan mahasiswa KKN dilaksanakan secara resmi di depan gedung kampus. Puluhan truk terbuka mengantri dengan spanduk kain merah khas almamater UKI Toraja dengan tulisan warna putih. Tetapi, kami satu posko KKN ke Masanda masih kebingungan berangkat. Intinya kami belum beranjak menuju Masanda saat itu.Â
Sekitar seminggu perjalanan kami ke Masanda tertunda karena tak ada yang mengetahui tentang Masanda. Hingga akhirnya kami dibertahukan pihak kampus bahwa ketua DPRD kabupaten Tanah Toraja adalah warga Masanda. Beliau adalah bapak Welem Sambolangi, S.E. Ia memiliki rumah di kota Makale. Kami pun bertemu beliau dan bersedia memmfasilitasi satu mobil hardtop miliknya untuk mengantar kami menuju Masanda.Â
Persiapan matang, masalah muncul, banyak logistik berupa sayuran dan ikan kering yang rusak dalam kardus di rumah kost. Belanja lagi dan hari keenam sejak pemberangkatan KKN kami lepas landas menuju Masanda.Â
Kami berangkat pagi hari saat itu. 11 orang berjubel dalam satu hardtop warna hijau milik pak ketua DPRD. Tiga rekan cewek duduk di jok bersama tiga rekan lainnya. Sisanya, duduk di kap mobil, di tenda dan bergelantungan di bagian belakang, saya sendiri duduk di atas ban serep. Sesak dan tersiksa di perjalanan tetapi dipenuhi canda tawa.Â
Mobil melaju pelan mengikuti kontur jalan. Longsor di kampung Se'seng menghambat jalan kami sekitar 4 jam hingga excavator bisa membuka akses jalan. Sepanjang rute yang kami lewati dari kota Makale menuju Bittuang, sebagian besar berbatu dan berdebu. Jaket almamater warna merah yang saya kenakan sudah berubah warna tertutup debu.
Memang benar, Masanda adalah sebuah kecamatan  pemekaran yang sangat terpencil. Hanya ada tiga kendaraan yang bisa tembus ke sana, yakni sebuah truk tua double gardan dan dua mobil hardtop. Satu dimiliki warga lokal dan satunya lagi milik ketua DPRD. Demikian informasi dari sopir pak dewan yang mengantar kami.Â
Kabut menyambut kami di iku kota kecamatan Bittuang. Saat itu jam 2 siang. Tak ada matahari, hanya kabut. Pekarangan rumah warga hanya berisi tanaman teh. Makan siang dengan lauk ayam kami santap habis.Â
Sekitar pukul tiga sore, hardtop melaju dengan sangat pelan melewati Bittuang. Jalan di depan kami hanya hutan pinus dan jalan tanah. Tetapi, bukan jalan, tetapi perpaduan jalan setapak dan bekas kubangan lumpur.Â
Jalur mobil dan jalur pejalan kaki memiliki tinggi yang sama. Atap mobil sama tingginya dengan akses jalan setapak. Beruntung musim kemarau. Jalan rusak berat bisa dilewati dan mandi debu.Â
Entah berapa kilometer, tak ada rumah yang kami temui. Hanya hutan pinus dan jalan rusak parah. Binatang hutan mulai menyanyi menyambut petang.Â
Singkatnya, apakah karena jalan yang lembut disapa mobil atau karena masuk negeri antah berantah, tak terasa mobil hardtop tiba di Masanda menjelang gelap. Hamparan sawah di bagian kiri begitu indah. Sementara perbukitan ada di sisi kanan dan kiri memanjang. Sekilas,. Kecamatan Masanda ada di tengah-tengah perbukitan. Perjalanan kami ternyata turun gunung sebelum mencapai, kampung Belau, ibi kota Kecamatan Masanda.Â