Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menguak Latar Belakang Calon Dokter Spesialis Rentan Kesehatan Mentalnya

24 April 2024   07:42 Diperbarui: 24 April 2024   11:56 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dokter spesialis. Sumber: PxHere

Dokter spesialis adalah profesi khusus dari pekerjaan sebagai dokter yang membutuhkan keahlian khusus sebagai bagian pengembangan karir. Spesialis karena memang menjalani proses pendidikan yang mendapatkan perlakuan khusus dalam rangka memperdalam kompetensinya pada satu keahlian spesifik yang dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan masyarakat. 

Karena spesialnya profesi dokter spesialis, maka keuntungan timbal balik yang akan diperoleh para lulusannya adalah dimungkinkan untuk mendapatkan penghasilan yang bernilai spesial pula. 

Di sisi lain, proses pendidikan seorang calon dokter spesialis tidak semudah pendidikan dokter umum atau pendidikan profesi lainnya. Biaya yang besar dibutuhkan untuk menuntaskan pendidikan profesi sebagai dokter spesialis. Satu hal lainnya yang tak kalah penting adalah kemampuan mental. 

Dibutuhkan mental yang sangat kuat bagi seorang mahawasiswa selama menjalani pendidikan  ini. Jika bermental "tempe" terhadap tantangan proses pendidikan, maka semangat untuk menuntaskan pendidikan ikut buyar. Terlebih, hanya mereka yang "berpenghasilan spesial" yang mampu sampai pada dokter spesialis. Selebihnya adalah para mahasiswa yang memang jenius dan masuk lewat jalur bantuan dan beasiswa. Sehingga tidak mengherankan jika hasil screening kesehatan para mahasiswa calon dokter spesialis mengalami masalah. 

Mengapa sampai mengkhawatirkannya kesehatan mental calon dokter spesialis ini? Dibutuhkan refleksi dari semua unsur yang terkait dengan pendidikan dokter spesialis ini. 

Kemampuan kognitif seharusnya selaras dengan pendidikan dan profesi yang akan dijalani kelak oleh seorang anak. Jika kemampuan otak mumpuni, maka ia pun akan mudah menyesuaikan diri dengan karakteristik pendidikan yang akan dijalaninya.

Selanjutnya, kemampuan biaya. Calon dokter spesialis membutuhkan biaya ratusan juta rupiah untuk bisa menuntaskan pendidikannya. Biaya mahal karena sesuai dengan bidang keilmuan dan kebutuhan biaya peralatan yang canggih pula. 

Berikutnya, kemampuan mental. Percaya diri, optimis dan memiliki visi yang jelas saat mengikuti pendidikan dokter spesialis harus dimiliki oleh mahasiswa. Padat dan kerasnya pembelajaran juga ikut mempengaruhi kesehatan mental calon dokter spesialis. Penelitian dan observasi yang mendalam terkait bidang yang digelutinya tentu mengorbankan banyak waktu, materi dan kesehatan.

Ketiga hal ini seyogyanya berbanding lurus ketika menjalani pendidikan dokter spesialis. Lalu, bagaimana jika salah satunya tidak terpenuhi?

Saya mencoba menelusuri berdasarkan pengalaman sebagai guru di sekolah. Selama bertahun-tahun sejak menjadi guru PNS saya menangani pendataan dan pendaftaran para siswa di sekolah yang akan masuk perguruan tinggi negeri. 

Jalur masuk siswa ke perguruan tinggi negeri sudah diproses dari jalur prestasi/jalur undangan, bidik misi, seleksi mandiri, dll. Khusus pada jalur prestasi, ada proses yang menurut saya sebuah kekeliruan satuan pendidikan, yakni mendongkrak nilai siswa tertentu dengan tujuan membuatnya sukses masuk pada program studi yang diinginkan orang tuanya, termasuk keinginan pribadinya. 

Memang sebuah kebanggaan tersendiri ketika seorang anak sukses masuk pendidikan dokter di kampus negeri ternama. Tetapi pertanyaannya adalah apakah memang kemampuan kognitif, psikomotorik dan psikologisnya akan sesuai dengan nilai yang diberikan? Katakanlah pada mata pelajaran rumpun MIPA, kemampuan dasarnya hanya pada skala sedang, akan tetapi karena "adanya desakan" tertentu sehingga nilai anak bersangkutan dinaikkan secara berkala setiap semester tanpa melihat hasil penilaian harian dan ujian. Singkatnya, ada peran sekolah dalam pendidikan yang baik, secara khusus pembinaan mental anak.

Kondisi inilah yang kemudian memberatkan seorang calon dokter spesialis ketika ia sedang menjalani pendidikannya. Kemampuan yang memang tak sesuai dan dipaksakan pada akhirnya membuat mental anak itu sendiri jatuh dibalik tuntutan "prestise". Mental mahasiswa ikut terpengaruh karena ia dan lingkungannya mengetahui bahwa sejak awal proses masuk kedokteran sudah tidak sesuai dengan pola yang sewajarnya. 

Perundungan tak  terhindarkan ketika isu-isu miring menerpa calon dokter spesialis. Ini belum termasuk ketika calon dokter justru takut melihat jarum suntik, darah, organ tubuh, mayat dan hal lain yang memang ekstrim ketika menjalani pendidikan. Bahkan sang calon dokter mahasiswa sendiri takut disuntik. 

Sejauh ini, saya mengenal dua eks siswa saya di sekolah yang masuk ke pendidikan dokter lewat jalur mandiri di perguruan tinggi negeri yang sama. Keduanya juga sedang menjalani pendidikan dokter spesialis saat ini. Apakah karena dorongan orang tua atau memang keinginan probadi sehingga mereka memilih pendidikan dokter, sementara pengalaman ketika mereka duduk di bangku SMA tidak sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. 

Jika dikaitkan dengan kesehatan mental, saya menyaksikan bahwa mereka kini cenderung lebih tua dari saya ketika dilihat dari penampilan kepala. Saya bisa menyimpulkan bahwa mereka mengalami pergumulan berat selama menempuh pendidikan. Baik dari segi pengetahuan, biaya dan mental. 

Maka, ke depan, pemerintah sebaiknya membuat regulasi yang ketat terkait penerimaan dokter spesialis. Regulasi berlaku untuk perguruan tinggi swasta dan negeri. Hanya siswa yang benar-benar mumpuni pengetahuan dan mentalnya yang lolos seleksi. Terkait biaya, masih bisa ditoleransi karena adanya beasiswa bagi anak tidak mampu tetapi memiliki visi dan mental yang kuat untuk menjalani pendidikan dokter spesialis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun