Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menguak Latar Belakang Calon Dokter Spesialis Rentan Kesehatan Mentalnya

24 April 2024   07:42 Diperbarui: 24 April 2024   11:56 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jalur masuk siswa ke perguruan tinggi negeri sudah diproses dari jalur prestasi/jalur undangan, bidik misi, seleksi mandiri, dll. Khusus pada jalur prestasi, ada proses yang menurut saya sebuah kekeliruan satuan pendidikan, yakni mendongkrak nilai siswa tertentu dengan tujuan membuatnya sukses masuk pada program studi yang diinginkan orang tuanya, termasuk keinginan pribadinya. 

Memang sebuah kebanggaan tersendiri ketika seorang anak sukses masuk pendidikan dokter di kampus negeri ternama. Tetapi pertanyaannya adalah apakah memang kemampuan kognitif, psikomotorik dan psikologisnya akan sesuai dengan nilai yang diberikan? Katakanlah pada mata pelajaran rumpun MIPA, kemampuan dasarnya hanya pada skala sedang, akan tetapi karena "adanya desakan" tertentu sehingga nilai anak bersangkutan dinaikkan secara berkala setiap semester tanpa melihat hasil penilaian harian dan ujian. Singkatnya, ada peran sekolah dalam pendidikan yang baik, secara khusus pembinaan mental anak.

Kondisi inilah yang kemudian memberatkan seorang calon dokter spesialis ketika ia sedang menjalani pendidikannya. Kemampuan yang memang tak sesuai dan dipaksakan pada akhirnya membuat mental anak itu sendiri jatuh dibalik tuntutan "prestise". Mental mahasiswa ikut terpengaruh karena ia dan lingkungannya mengetahui bahwa sejak awal proses masuk kedokteran sudah tidak sesuai dengan pola yang sewajarnya. 

Perundungan tak  terhindarkan ketika isu-isu miring menerpa calon dokter spesialis. Ini belum termasuk ketika calon dokter justru takut melihat jarum suntik, darah, organ tubuh, mayat dan hal lain yang memang ekstrim ketika menjalani pendidikan. Bahkan sang calon dokter mahasiswa sendiri takut disuntik. 

Sejauh ini, saya mengenal dua eks siswa saya di sekolah yang masuk ke pendidikan dokter lewat jalur mandiri di perguruan tinggi negeri yang sama. Keduanya juga sedang menjalani pendidikan dokter spesialis saat ini. Apakah karena dorongan orang tua atau memang keinginan probadi sehingga mereka memilih pendidikan dokter, sementara pengalaman ketika mereka duduk di bangku SMA tidak sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. 

Jika dikaitkan dengan kesehatan mental, saya menyaksikan bahwa mereka kini cenderung lebih tua dari saya ketika dilihat dari penampilan kepala. Saya bisa menyimpulkan bahwa mereka mengalami pergumulan berat selama menempuh pendidikan. Baik dari segi pengetahuan, biaya dan mental. 

Maka, ke depan, pemerintah sebaiknya membuat regulasi yang ketat terkait penerimaan dokter spesialis. Regulasi berlaku untuk perguruan tinggi swasta dan negeri. Hanya siswa yang benar-benar mumpuni pengetahuan dan mentalnya yang lolos seleksi. Terkait biaya, masih bisa ditoleransi karena adanya beasiswa bagi anak tidak mampu tetapi memiliki visi dan mental yang kuat untuk menjalani pendidikan dokter spesialis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun