Jalur masuk siswa ke perguruan tinggi negeri sudah diproses dari jalur prestasi/jalur undangan, bidik misi, seleksi mandiri, dll. Khusus pada jalur prestasi, ada proses yang menurut saya sebuah kekeliruan satuan pendidikan, yakni mendongkrak nilai siswa tertentu dengan tujuan membuatnya sukses masuk pada program studi yang diinginkan orang tuanya, termasuk keinginan pribadinya.Â
Memang sebuah kebanggaan tersendiri ketika seorang anak sukses masuk pendidikan dokter di kampus negeri ternama. Tetapi pertanyaannya adalah apakah memang kemampuan kognitif, psikomotorik dan psikologisnya akan sesuai dengan nilai yang diberikan? Katakanlah pada mata pelajaran rumpun MIPA, kemampuan dasarnya hanya pada skala sedang, akan tetapi karena "adanya desakan" tertentu sehingga nilai anak bersangkutan dinaikkan secara berkala setiap semester tanpa melihat hasil penilaian harian dan ujian. Singkatnya, ada peran sekolah dalam pendidikan yang baik, secara khusus pembinaan mental anak.
Kondisi inilah yang kemudian memberatkan seorang calon dokter spesialis ketika ia sedang menjalani pendidikannya. Kemampuan yang memang tak sesuai dan dipaksakan pada akhirnya membuat mental anak itu sendiri jatuh dibalik tuntutan "prestise". Mental mahasiswa ikut terpengaruh karena ia dan lingkungannya mengetahui bahwa sejak awal proses masuk kedokteran sudah tidak sesuai dengan pola yang sewajarnya.Â
Perundungan tak  terhindarkan ketika isu-isu miring menerpa calon dokter spesialis. Ini belum termasuk ketika calon dokter justru takut melihat jarum suntik, darah, organ tubuh, mayat dan hal lain yang memang ekstrim ketika menjalani pendidikan. Bahkan sang calon dokter mahasiswa sendiri takut disuntik.Â
Sejauh ini, saya mengenal dua eks siswa saya di sekolah yang masuk ke pendidikan dokter lewat jalur mandiri di perguruan tinggi negeri yang sama. Keduanya juga sedang menjalani pendidikan dokter spesialis saat ini. Apakah karena dorongan orang tua atau memang keinginan probadi sehingga mereka memilih pendidikan dokter, sementara pengalaman ketika mereka duduk di bangku SMA tidak sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.Â
Jika dikaitkan dengan kesehatan mental, saya menyaksikan bahwa mereka kini cenderung lebih tua dari saya ketika dilihat dari penampilan kepala. Saya bisa menyimpulkan bahwa mereka mengalami pergumulan berat selama menempuh pendidikan. Baik dari segi pengetahuan, biaya dan mental.Â
Maka, ke depan, pemerintah sebaiknya membuat regulasi yang ketat terkait penerimaan dokter spesialis. Regulasi berlaku untuk perguruan tinggi swasta dan negeri. Hanya siswa yang benar-benar mumpuni pengetahuan dan mentalnya yang lolos seleksi. Terkait biaya, masih bisa ditoleransi karena adanya beasiswa bagi anak tidak mampu tetapi memiliki visi dan mental yang kuat untuk menjalani pendidikan dokter spesialis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H