Pola penggarapan  sawah masih dikelola secara tradisional. Membajak dengan bantuan kerbau mungkin masih ada warga Simbuang yang melakukannya. Akan tetapi melihat ukuran petak sawah yang ada, maka proses mencangkul secara manual yang lebih mendominasi.Â
Tak ada mesin traktor yang membajak sawah. Traktor tak bisa dioperasikan pada lahan sawah di Simbuang yang lebarnya mulai dari 30 cm hingga 4 meter. Kalaupun ada yang lebar ukurannya, hanya beberapa petak saja. Biasanya petak sawah yang ada di posisi paling bawah yang agak lebar.Â
Sangat jarang ditemui sawah dengan ukuran yang luas. Pemandangan sawah yang bisa diolah dengan traktor hanya ada di kampung Sa'dan, Lembang (desa) Makkodo yang lokasinya tepat di pinggir sungai Masuppu'. Selebihnya sawah dengan lebar sempit dan memanjang mengikuti lereng perbukitan.
Kunci dari masih terpeliharanya sawah tadah hujan di seantero Kecamatan Simbuang adalah masih terpeliharanya kearifan lokal mereka. Mungkin pola dan caranya terlihat unik dan agak ribet bagi masyarakat umum, tetapi sekali lagi ini adalah kekayaan bangsa Indonesia yang wajib dijaga dan dilestarikan.
Jika kurikulum pendidikan saat ini mengenal kolaborasi, maka sebenarnya warga Kecamatan Simbuang telah mempraktekkan kolaborasi ini dalam sistem kehidupan mereka yang unik dan kompleks dan sejatinya adalah praktek baik dari Appreciative Inquiry (AI).