Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Dilema Guru Penggerak Tanpa Batas Usia

17 Februari 2024   20:28 Diperbarui: 19 Februari 2024   09:30 965
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Contoh berikutnya adalah guru penggerak paham akan supervisi akademik di dalam kurikulum merdeka yang kini terintegrasi dengan Platform Merdeka Mengajar (PMM).

Tetapi pada faktanya, guru penggerak tidak dilibatkan sebagai salah satu tim supervisi akademik ini. Hanya orang tertentu yang sesuai dengan pilihan pimpinan yang dilibatkan. Fakta yang terjadi di sekolah saya sendiri, justru yang dilibatkan adalah para guru senior berpangkat IV.b ke atas.

Uniknya lagi, sebagian besar supervisor tidak pernah mengikuti kegiatan tentang guru penggerak dan kurikulum merdeka. Adapun instrumen supervisinya masih menggunakan instrumen masa KTSP. Padahal instrumen versi Kurikulum Merdeka lebih fokus pada metode coaching untuk menggali potensi rekan sejawat, bukan mencari perangkat pembelajaran. 

Paham awam guru senior adalah guru penggerak adalah sosok serba bisa di sekolah. Sehingga diharapkan terjadi perubahan dalam tempo singkat. Padahal, perubahan butuh proses panjang. Ada kolaborasi penuh dalam satu sekolah lewat Komunitas Belajar. 

Singkatnya, ada kecemburuan guru yang merasa senior kepada guru penggerak sehingga tidak dilibatkan secara maksimal untuk mendorong terjadinya transformasi pendidikan di sekolah.

Pada sisi lain, pimpinan pun melihat guru penggerak adalah saingan yang nantinya akan mengambil alih jabatannya. 

Foto bersama setelah melakukan supervisi akademik kepada salah satu calon guru penggerak di Tana Toraja. Sumber: dok. pribadi
Foto bersama setelah melakukan supervisi akademik kepada salah satu calon guru penggerak di Tana Toraja. Sumber: dok. pribadi

Nah, ketika Mahkamah Agung membatalkan batasan usia 50 tahun untuk menjadi Guru Penggerak, maka secara langsung mengajak para guru senior untuk mengikuti program ini. Saya sepakat jika tak dibatasi umur. Harapannya adalah para guru senior yang nantinya lolos seleksi calon guru penggerak akan mulai mengenali dan terbiasa dengan pendekatan pendidikan di pendidikan guru penggerak. 

Dengan demikian, pikiran-pikiran kontradiktif guru senior kepada guru penggerak usia muda bisa menjadi pikiran yang searah untuk membangun kolaborasi agar tujuan pembelajaran di kurikulum merdeka benar-benar bisa diwujudkan di sekolah. 

Namun, ada tantangan yang bisa mengganjal para guru di atas usia lima puluh tahun. Mengikuti program pendidikan guru penggerak wajib melek Teknologi Informasi dan Komunikasi. Wajib memiliki kemampuan menjalankan laptop/komputer, smartphone, dan mampu duduk lama untuk menuntaskan berbagai penugasan di depan laptop secara online via LMS. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun