Guru Penggerak adalah salah satu terobosan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Program ini telah memasuki pendidikan di angkatan 9 dan sedang melakukan seleksi untuk angkatan 11.
Puluhan ribu guru telah lulus pendidikan penggerak. Banyak di antara mereka yang telah bertugas bukan hanya sebagai guru penggerak, tetapi juga mendapat tugas sebagai kepala sekolah dan pengawas sekolah.
Peran guru penggerak sangatlah penting sesuai dengan tujuan dijalankannya program ini di bawah komando Mendikbudristek, Nadiem Anwar Makariem. Guru Penggerak bertugas memperbaiki mutu pendidikan yang dipandang masih rendah. Fokusnya pada peningkatan literasi  dan  numerasi.Â
Kebijakan mengenai pengangkatan guru penggerak selama ini dibatasi oleh umur, yakni maksimal 55 tahun. Sehingga tidak mengherankan, para guru penggerak yang lulus hingga angkatan 7, rata-rata usia muda.
Banyaknya guru penggerak yang ada dalam usia emas ini membuat kepemimpinan di sekolah juga banyak diisi guru penggerak milenial. Guru muda banyak mendapat peran dalam hal pengembangan strategi pembelajaran.
Sebagai salah satu guru yang telah lulus pendidikan guru penggerak pada angkatan 4, saya telah mengalami suka dan dukanya. Suka sebagai guru dengan status guru penggerak adalah banyak rekan baru, mendapat pengalaman baru tentang strategi pelayanan pendidikan yang mengutamakan pusatnya pada murid dan masih banyak pengalaman yang sangat bermanfaat sebagai guru.Â
Usia saya saat ini adalah 39 tahun. Saya bukan kepala sekolah maupun pengawas sekolah. Peran saya adalah sebagai guru biasa di sekolah. Di sinilah dukanya guru dengan label guru penggerak. Sangat sulit menerapkan konsep pembelajaran yang berpusat pada murid manakala pimpinan bukan dari guru penggerak.Â
Terkait implementasi kurikulum merdeka, pimpinan membebankannya kepada guru penggerak. Namun, ketika implementasi belum berjalan dengan baik, maka guru penggerak menjadi sasaran utama yang disalahkan.
Misalnya, pelaksanaan proyek penguatan profil pelajar Pancasila dan asesmen pembelajaran. Oleh karena pimpinan dan sejumlah guru lainnya berstatus senior, maka kesalahan kecil saja, guru penggerak yang dilelang namanya. Modul P5 yang tidak sesuai dengan mood mengajar guru senior, akan dijadikan bahan konfrontasi. Sehingga pada akhirnya, semua kebijakan kembali ke pola konvensional.Â
Contoh berikutnya adalah guru penggerak paham akan supervisi akademik di dalam kurikulum merdeka yang kini terintegrasi dengan Platform Merdeka Mengajar (PMM).
Tetapi pada faktanya, guru penggerak tidak dilibatkan sebagai salah satu tim supervisi akademik ini. Hanya orang tertentu yang sesuai dengan pilihan pimpinan yang dilibatkan. Fakta yang terjadi di sekolah saya sendiri, justru yang dilibatkan adalah para guru senior berpangkat IV.b ke atas.
Uniknya lagi, sebagian besar supervisor tidak pernah mengikuti kegiatan tentang guru penggerak dan kurikulum merdeka. Adapun instrumen supervisinya masih menggunakan instrumen masa KTSP. Padahal instrumen versi Kurikulum Merdeka lebih fokus pada metode coaching untuk menggali potensi rekan sejawat, bukan mencari perangkat pembelajaran.Â
Paham awam guru senior adalah guru penggerak adalah sosok serba bisa di sekolah. Sehingga diharapkan terjadi perubahan dalam tempo singkat. Padahal, perubahan butuh proses panjang. Ada kolaborasi penuh dalam satu sekolah lewat Komunitas Belajar.Â
Singkatnya, ada kecemburuan guru yang merasa senior kepada guru penggerak sehingga tidak dilibatkan secara maksimal untuk mendorong terjadinya transformasi pendidikan di sekolah.
Pada sisi lain, pimpinan pun melihat guru penggerak adalah saingan yang nantinya akan mengambil alih jabatannya.Â
Nah, ketika Mahkamah Agung membatalkan batasan usia 50 tahun untuk menjadi Guru Penggerak, maka secara langsung mengajak para guru senior untuk mengikuti program ini. Saya sepakat jika tak dibatasi umur. Harapannya adalah para guru senior yang nantinya lolos seleksi calon guru penggerak akan mulai mengenali dan terbiasa dengan pendekatan pendidikan di pendidikan guru penggerak.Â
Dengan demikian, pikiran-pikiran kontradiktif guru senior kepada guru penggerak usia muda bisa menjadi pikiran yang searah untuk membangun kolaborasi agar tujuan pembelajaran di kurikulum merdeka benar-benar bisa diwujudkan di sekolah.Â
Namun, ada tantangan yang bisa mengganjal para guru di atas usia lima puluh tahun. Mengikuti program pendidikan guru penggerak wajib melek Teknologi Informasi dan Komunikasi. Wajib memiliki kemampuan menjalankan laptop/komputer, smartphone, dan mampu duduk lama untuk menuntaskan berbagai penugasan di depan laptop secara online via LMS.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI