Daerah 3T atau yang lebih populer disebut daerah terpencil tidak hanya terpencil karena jauh dari perkotaan dan modernisasi. Daerah terpencil juga merasakan keterpencilan di bidang pendidikan.Â
Seperti yang nampak di salah satu sekolah terpencil yang ada di Lembang (desa) Puangbembe Mesakada, Kecamatan Simbuang, Kabupaten Tana Toraja. UPT SMPN Satap 2 Simbuang, sekolah yang berdiri di antara kearifan lokal warga setempat.Â
Salah satu kearifan lokal yang menghiasi keberadaan sarana pendidikan adalah masih terpeliharanya tradisi melepasliarkan ternak kerbau dan kuda. Sehingga, lokasi sekolah dan bangunan ruang kelas juga turut menjadi tempat bermain dan tempat mencari rumput bagi ternak liar.Â
Tantangan besar sekolah ini adalah lingkungan sekolah yang tidak memiliki pagar. Ternak liar seperti kerbau dan kuda bisa dengan bebas berkeliaran di sekitar sekolah untuk mencari makan.Â
Kurikulum Merdeka yang telah dijalankan selama hampir setahun di sekolah ini pun mendapatkan dampak. Projek penguatan profil pelajar Pancasila (P5) yang telah dijalankan siswa berupa penanaman pohon di sekitar lingkungan sekolah pun banyak yang mati terinjak ternak liar. Tanaman yang ada di halaman sekolah sedikit aman karena telah diberi pagar kayu dan bambu seadanya. Pagar yang ala kadarnya pun mudah diterobos kelompok ternak liar.Â
Kotoran kerbau nampak di berbagai sudut halaman dan sisi ruang kelas. Meskipun kondisi ini mengganggu pemandangan dan kenyamanan ketika melangkah, tetapi para guru dan siswa terlihat nyaman dengan kondisi yang ada. Mereka asik saja bermain bola voli dan takraw di halaman sekolah.Â
Kerbau liar memang memiliki sifat liar. Hingga emper sekolah pun kena dampaknya etika kerbau liar meninggalkan kotoran warna oekat di lantai keramik sekolah.
Berbicara fasilitas di dalam ruang kelas, banyak peralatan pokok untuk pembelajaran yang sebenarnya sudah tidak layak pakai. Papan tulis yang terbuat dari tripleks rata-rata sudah berlobang. Bahkan ada yang hanya bisa digunakan menulis sepotong saja. Lalu, papan tulis pun hanya disandarkan di dinding dengan pijakan meja bekas.Â
Kursi dan meja siswa pun demikian. Sudah ada beberapa yang kaki kursinya patah, termasuk meja sehingga sudah tak layak untuk siswa.Â
Jangan ditanya jika ada alat peraga belajar yang mumpuni dalam kelas. Pun dengan simbol negara yang hanya gambar presiden dan Garuda Pancasila yang setia.Â
Laboratorium dan perpusatakaan memiliki kesamaan dengan kondisi di sekolah lain, yakni tidak terpelihara dan jarang terpakai. Kondisi seperti ini sebenarnya sama dengan ruang kelas, yang membedakan adalah, kelas hampir setiap hari dibersihkan dan digunakan. Maka laboratorium dan perpustakaan hanya menjadi pemanis.Â
Siswa yang datang belajar pun tak perlu dikejar dengan tata tertib sekolah. Banyak siswa yang hanya menggunakan sandal alias tanpa sepatu. Tapi, mereka wajib diapresiasi karena masih memberi diri untuk datang ke sekolah.Â
Jam berapa biasanya kelas dimulai disekolah terpencil? Meskipun jadwal pukul 07.30 sudah masuk belajar, akan tetapi domisili siswa yang tersebar jauh ke pelosok membuat sekolah baru ramai oleh siswa menjelang pukul 8 pagi. Sebagian besar siswa harus jalan kaki untuk menjangkau sekolah. Hanya siswa tertentu saja yang mengendarai sepeda motor.Â
Gambaran umum kehadiran guru sudah bisa dibayangkan. Sama halnya dengan kehadiran siswa, maka di jam yang sama para guru akan mulai berkumpul menyesuaikan dengan kehadiran siswa.Â
Ketika menyaksikan pak Kristian Betteng mengajar Bahasa Inggris di kelas 7, para siswa tampak antusias. Secara kognitif, mereka memiliki bekal. Rasa percaya diri mereka juga sangat baik. Mereka berlomba-lomba untuk memberikan tanggapannya.Â
Jaringan internet memang sudah ada di sekitar sekolah. Meski demikian, internet hanya tersedia di tempat terbatas. Siswa di Puangbembe Mesakada juga sudah familiar dengan handphone. Tak ada jaringan internet bukan berarti mereka tidak bisa menggunakan handphone untuk menerjemahkan. Para siswa menggunakan aplikasi terjemahan versi offline.Â
Siswa biasanya pulang sekolah lebih awal dari jam pulang yang sebenarnya. Hal ini dipengaruhi oleh keterbatasan guru. Inilah warna-warni sekolah di daerah terpencil yang masih merawat kearifan lokal.Â