Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Mengurai Masa Keemasan Cengkeh yang Pernah Terpuruk dan Kini Mulai Bangkit Kembali

9 Januari 2024   16:58 Diperbarui: 10 Januari 2024   01:19 1835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hasil petikan buah cengkeh yang dijemur di atas nyiru. (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Tanaman cengkeh pernah menjadi tanaman primadona di Tana Toraja, khususnya bagi warga yang berdomisili di Kecamatan Gandangbatu Sillanan (dulunya masih tergabung dalam kecamatan Mengkendek). 

Kecamatan ini berbatasan langsung dengan Kecamatan Alla dan Kecamatan Curio, dua kecamatan penghasil cengkeh terbesar di Kabupaten Enrekang. 

Dapat dikatakan bahwa ketiga kecamatan ini adalah penghasil buah cengkeh terbesar. Hingga kini, Kecamatan Curio masih menjadi wilayah dengan tanaman cengkeh paling subur di Enrekang dan banyak berimbas ke petani cengkeh di wilayah Tana Toraja.

Khusus di wilayah Tana Toraja, terdapat beberapa desa yang pekerjaan utama warganya adalah sebagai petani cengkeh. Desa/lembang dan kelurahan tersebut antara lain Kelurahan Salubarani, Lembang Betteng Deata, Lembang Garassik, Lembang Buntu Tabang, Lembang Buntu Limbong, Lembang Gandangbatu dan Lembang Pemanukan. 

Ketujuh wilayah ini adalah tujuan para pencari kerja yakni pemetik cengkeh pada awal tahun 1990-an hingga 2015. Para pencari kerja yang lebih tepat disebut sebagai buruh petik berasal dari kampung-kampung lain di Toraja yang tidak memiliki tanaman cengkeh. 

Sebagian besar para buruh petik berasal dari wilayah Toraja Bagian barat, beberapa dari Toraja Utara, Palopo, dan bahkan ada yang datang dari Pare-Pare.

Pohon cengkeh muda yang mulai rimbun. (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Pohon cengkeh muda yang mulai rimbun. (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Masa kejayaan cengkeh di wilyah Toraja adalah setelah era reformasi, yakni mulai tahun 2000 hingga tahun 2013. Sebenarnya, buah cengkeh sudah melimpah ruah di pertengahan tahun 1990-an. 

Saat itu saya masih kelas 4 SD. Pohon-pohon cengkeh yang ditanam pada rentang tahun 1974 hingga 1986 telah menghasilkan buah. Istilah panen raya saat itu sudah ada. 

Kedua orangtua saya pun beberapa kali mengajak saya ikut panen raya ke kebun cengkeh nenek. Cara membayar upah para pekerja atau warga yang memetik cengkeh adalah dengan cara bagi hasil. 

Saat itu yang masih populer sistim bagi hasil 4, yakni tiga liter cengkeh untuk pemilik kebun dan satu liter untuk pemetik. Semua pemetik tinggal di tenda atau pondok yang dibuat di kebun. Beras dan lauk ditanggung oleh pemilik kebun cengkeh.

Banyaknya hasil panen cengkeh di tahun 1990-an belum banyak memberikan kesejahteraan kepada warga. Harga cengkeh kering saat itu hanya Rp1.500 per kilogram. Paling mahal Rp3.000 per kilo. Inilah yang menyebabkan banyak tanaman cengkeh yang tak terawat saat itu. 

Sistem bagi hasil dipilih agar banyak warga yang mau datang membantu memetik. Bahkan banyak juga pemilik cengkeh yang pada akhirnya menebang pohon cengkeh mereka dan menggantinya dengan tanaman merica dan vanili yang nilai jualnya lebih menggiurkan. 

Memasuki tahun 1997, harga cengkeh kering sedikit lebih baik, yakni sudah dihargai Rp6.000-Rp7.000 per kilo. Namun, sekali lagi, sebagian besar pemilik cengkeh lebih cenderung mengajak tetangga atau mempercayakan kepada para warga pendatang sebagai buruh petik dengan sistim bagi hasil. 

Tanaman cengkeh mencapai masa puncak kesuburannya menjelang reformasi dan setelah reformasi. Semua pohon cengkeh tua menghasilkan buah. Harga cengkeh pun juga mulai naik. 

Tahun 1999, harga cengkeh kering sudah menyentuh Rp12.000 per kilo. Dan memasuki tahun 2000, harga cengkeh melonjak ke Rp25.000 hingga Rp30.000 per kilo. 

Jumlah pencari kerja sebagai pemetik cengkeh membludak datang di kecamatan Gandangbatu Sillanan. Saya yang saat itu sudah masuk bangku kelas 1 SMA, sudah mempekerjakan dua karyawan pemetik cengkeh. Keduanya berasal dari kampung di perbatasan Mamasa-Toraja. 

Saat itu jumlah pohon cengkeh yang siap panen hanya sekitar 60 pohon. Tapi tingginya pohon cengkeh dan lebatnya buah saat itu, kadang satu pohon cengkeh baru selesai dipetik dalam 3 hari. 

Kata panen raya adalah istilah paling populer di sekitar Gandangbatu, khususnya pada ketujuh desa penghasil cengkeh. Sistem bagi hasil mulai ditinggalkan sejak tahun 2000. Sistem penggajian Rp30.000 per hari menjadi pilihan di mana konsumsi dan rokok ditanggung. Gaji Rp50.000 jika pemetik membawa bekal makanan sendiri.

Hasil petikan buah cengkeh yang dijemur di atas nyiru. (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Hasil petikan buah cengkeh yang dijemur di atas nyiru. (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Lalu, pada tahun tahun 2005 hingga 2013, harga cengkeh sudah berada pada puncaknya, yakni Rp55.000 hingga Rp110.000 per kilo. Tetapi mahalnya harga cengkeh juga harus dibayar mahal dengan banyaknya pohon cengkeh yang mati karena serangan hama berupa ulat penggerek batang. 

Ulat ini mulai menyerang cengkeh di Enrekang dan Toraja pada tahun 2010. Hanya saja saat itu masih dianggap biasa saja, apalagi saat itu musim kemarau juga cukup panjang, sehingga banyak buah cengkeh yang berguguran. Istilah to ma'peronno' (orang yang memungut cengkeh yang berjatuhan) sangat populer saat itu. Penghasilan warga yang ma'peronno' bahkan mencapai 5 kilogram cengkeh basah dalam sehari. 

Tahun 2012 hingga tahun 2015, jumlah pohon cengkeh produktif di Toraja menurun drastis. Sebagai besar ditebang karena mati oleh ulat penggerek batang. 

Beragam metode digunakan untuk mengatasi ulat penggerek. Ada yang menggunakan pestisida merek dragon dari Malaysia, ada yang menyemprotkan termiban atau menanam pestisida di dalam tanah dan diserap oleh akar. Namun, metode yang paling efektif saat itu adalah metode suntik batang. 

Setiap pagi, akan ada jejak baru dari ulat, maka racun segera disuntikkan. Ada pula yang langsung menggunakan parang memotong jalan dan membunuh ulatnya yang sebesar jari telunjuk.

Tidak ada yang tahu dari mana datangnya ulat penggerek batang ini. Awalnya ia berupa serangga kecil yang hinggap di daun, lalu mulai masuk ranting kecil. Makin lama, ulat akan bertambah besar sehingga ia makin menyerang batang. Pohon-pohon cengkeh banyak yang tiba-tiba tumbang atau layu karena penggerek telah memakan batang pohon cengkeh.

Warga mulai menanam cengkeh kembali sejak tahun ulat penggerek menyerang. Tetapi tanaman cengkeh muda pun ikut diserang. Sehingga berulang kali harus dilakukan tambal sulam tanaman cengkeh. 

Oleh karena banyaknya tanaman cengkeh yang mati, sejauh mata memandang, bukit dan kebun cengkeh terlihat gersang. Pohon-pohon cengkeh seperti rambut beruban dari kejauhan. 

Dalam lima tahun terakhir, tanaman cengkeh usia remaja sudah mulai kembali menghijaukan Tana Toraja bagian selatan. Masih banyak pula pohon cengkeh muda yang mati muda pula karena masih ada sisa ulat penggerek batang. 

Enam tahun yang lalu, saya juga memulai istilah reboisasi tanaman cengkeh. Usia lima tahun bagi cengkeh muda adalah usia dimulainya panen tanaman baru. Satu pohon rata-rata menghasilkan sekilo cengkeh kering. 

Memasuki bulan Januari 2024, jejak tanda mulai kembalinya keemasan cengkeh sudah ramai bermunculan, yakni berupa buah cengkeh yang dijemur. Memang belum banyak rumah warga yang menjemur cengkeh di pekarangan rumah atau pinggir jalan trans Sulawesi. 

Buah cengkeh yang dipanen pada umumnya adalah buah dari pohon hasil tanam terbaru pasca serangan hama penggerek batang. Selain itu juga bersumber dari pohon-pohon cengkeh tua yang masih bertahan setelah diremajakan atau dipangkas.

Panen baru untuk pohon baru dan sisa peremajaan cengkeh sedikit memberikan harapan. Harga cengkeh kering saat ini berkisar antara Rp110.000 hingga Rp130.000. 

Sebagian besar pemilik cengkeh memilih untuk memanen sendiri. Hanya terdapat beberapa saja pemilik cengkeh yang mempekerjakan pemetik. Adapun gaji pemetik cengkeh saat ini adalah Rp150.000 per hari, hanya memetik dan makanan ditanggung sendiri. 

Khusus di kebun cengkeh saya, pohon yang siap panen hanya sekitar 20 pohon saja, yakni tiga pohon legendaris dan sisanya tanaman berusia 5-6 tahun. Sejak saya berdomisili di kota Makale karena tugas sebagai guru PNS, saya jarang sekali mengunjungi kebun. 

Opsi mencari pekerja untuk membersihkan kebun cengkeh, menyulami pohon cengkeh yang mati dan menggaji anak-anak muda yang mau memetik cengkeh saya ambil karena hampir tak ada waktu luang untuk bekerja di kebun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun