Usai ibadah masih ada latihan paduan suara yang akan ditampilkan di ibadah perayaan Natal. Tapi kali ini saya tidak bergabung. Saya memilih kembali ke rumah di kota Makale. Jarak dari kampung ke kota sekitar 30 km.Â
Keesokan harinya, pada tanggal 25 Desember, sebagai puncak perayaan Natal, terdapat dua ibadah yang kami laksanakan di gereja. Ibadah pagi ada ibadah puncak Natal dan malam harinya pelaksanaan perayaan Natal Jemaat.
Saya berangkat pagi-pagi dari Makale karena ibadah Natal dimulai pukul delapan pagi. Tak lupa kami sekeluarga membawa baju ganti untuk nanti tinggal bekerja di gereja seusai ibadah. Saya juga membawa dua buah xbanner sebagai tambahan dekorasi Natal.Â
Ruang gereja kali ini tumpah ruang oleh peserta ibadah. Banyaknya perantau dan keluarga yang kembali ke kampung memicu penuhnya gereja. Ini adalah salah satu ciri khas Natal di kampung saya. Kehadiran perantau memberikan kesan tersendiri dari jumlah peserta ibadah.Â
Pelayan firman pada ibadah puncak Natal adalah rektor Institut Agama Kristen Negeri Toraja, bapak Pdt. Dr. Joni Tapingku, M.Th. Tema besar ibadah Natal adalah Imanuel. Pesan Natal dari pak rektor adalah Imanuel benar-benar dimaknai dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, penting bagi setiap orang untuk berdamai dengan dirinya sendiri.Â
Saya sempat berbincang singkat dengan  pak rektor. Beliau dulu adalah dosen saya pada salah satu mata kuliah ketika saya kuliah S2 di IAKN Toraja.Â
Setelah ibadah Natal selesai, saya langsung ganti baju ke baju kerja. Parang pun terpasang di pinggang saya. Anak-anak bermain dengan teman sebayanya. Saya dan istri bergabung dengan warga Jemaat mengangkat pekerjaan bersama. Inilah pekerjaan puncak persiapan ibadah perayaan Natal Jemaat.Â
Salah satu kenikmatan di hari Natal ketika di kampung adalah bekerja bersama-sama. Situasi yang sulit ditemui ketika hidup di kota dan perantauan. Gotong-royong ini masih melekat kuat di kampung.Â
Empat ekor babi disembelih. Satu diantaranya akan "dirarang". " Ma'rarang" adalah sesinyang paling ditunggu. Ma'rarang adalah istilah khusus di Toraja yang artinya memasak daging segar di atas bara api. Para pria paling memburu sesi ma'rarang. Masing-masing menyiapkan bambu untuk tusuk daging. Ada pula yang membuat tempat seperti masak sate.Â
Para pria bertugas membakar, membersihkan dan memotong bagian tubuh babi. Ibu-ibu bertugas memotong daging kecil-kecil. Suasana ramai ketika ibu-ibu sudah duduk melingkar di atas terpal besar lengkap dengan senjata masing-masing, yakni pisau dapur. Di tengahnya dua bapak-bapak memisahkan daging dari tulang.Â