Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

KDRT: Dampak Tekanan Hidup dan Upaya Pencegahannya

16 Desember 2023   07:19 Diperbarui: 18 Desember 2023   06:19 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kekerasan pada anak. Sumber: Aizbah Khan via Wikimedia Commons

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi perbincangan serius dalam beberapa waktu belakangan ini. KDRT tidak hanya menyasar kekerasan kepada pasangan hidup. Jika selama ini yang rentan mengalami KDRT adalah kaum hawa, maka saat ini justru lebih banyak menyasar anak-anak. 

Kekerasan yang menyasar anak-anak ini sudah pasti merusak masa depan anak itu sendiri. Kondisi mental dan psikologis anak rentan dan rawan. Anak-anak bisa mengikuti perilaku yang didapatkannya dan sebaliknya mereka bisa menjadi insan yang menutup diri dari kehidupan sosial. Bahkan ada yang terenggut masa depannya karena harus menghadap sang Pencipta lebih cepat.  Sosok ayah selaku kepala rumah tangga menjadi oknum yang paling dominan melakukan KDRT. Meskipun  tak dipungkiri juga, berita-berita kasus kriminal juga banyak memberitakan tindakan seorang ibu yang melukai atau menghilangkan nyawa anaknya sendiri. 

Masih segar dalam ingatan kita bagaimana empat anak harus kehilangan nyawa yang diduga dilakukan oleh ayahnya sendiri. Lalu, ada pula anak yang meregang nyawa karena dianiaya oleh ayahnya hanya karena menabrak tetangga saat berkendara. 

Ya, KDRT di lingkup wilayah sekitar kita kini memprihatinkan dan layak menjadi fokus pembelajaran untuk semua orang. Bukan hanya mereka yang telah berumah tangga, melainkan mereka yang masih ada di bangku pendidikan dan dunia kerja dengan status lajang.

KDRT di lingkungan domestik terjadi karena beragam latar belakang. Persoalan ekonomi adalah yang paling umum. Keterbatasan pada biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.  Salah satu orang tua memiliki utang yang lama tak terbayar dan sudah dikejar penagih/pemberi peinjaman. Situasi dan kondisi di lingkungan kerja, susahnya mencari pekerjaan, persoalan kehidupan sosial yang kompleks, hingga doktrin dari paham-paham menyesatkan yang dianut salah satu orang tua dalam rumah tangga. Kondisi-kondisi inilah yang menjadi penyulut labilnya emosi dan psikologis dalam rumah tangga. Ditambah lagi jika pembicaraan dua arah antara pasangan suami-istri sama-sama panas. Pikiran yang pusing dan kalap akhirnay membuat semua yang ada di sekitarnya menajdi sasaran pelampiasan emosi. Dan terakhir, lagi-lagi anak yang tidak tahu apa-apa yang turut menjadi korban.

KDRT terjadi juga karena adanya tekanan psikologis pengalaman masa lalu dari salah satu orang tua. Masa kecil yang dihiasi oleh kekerasan akan memicu kelakuan yang serupa ketika seseorang diperhadapkan pada sebuah situasi yang sulit. Depresi dan tidak ada umpan balik yang menenangkan dalam situasinyang emosional akan membuat seseorang mengambil tindakan yang dianggap menenangkan hatinya dengan pelampiasan pada objek terdekatnya. Pelampiasan kepada pasangan akan menjadi jalan terakhir. Anak-anak cenderung menjadi sasaran utama karena dianggap tidak akan memberikan perlawanan. Kemudian, anak dianggap sebagai tumbal untuk menerima umpan balik yang menenangkan jiwa pelaku KDRT yang sedang emosional.

Di sekitar kita sebenarnya sering terjadi KDRT. Tidak menutup kemungkinan kejadian itu terjadi dalam lingkup rumah tangga kita sendiri. Namun, dianggap sebagai situasi yang normal saja sebagai bagian dari lika-liku kehidupan rumah tanggan.

Umumnya, rata-rata keluarga tempat terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, penghuninya memiliki sikap sosial yang agak tertutup dari tetangga di sekitarnya. Mereka jarang bergaul dan bersosialisasi, meskipun secara komunikasi harian ramah. Untuk kondisi seperti ini, khususnya bagi hunian di wilayah perkotaan yang heterogen dari berbagai latar belakang penduduk, peran ketua RT/RW harus mulai dimaksimalkan. Mereka harus memiliki bank data penghuni lokasi mereka, apakah warga tetap atau indekos. Informasi lainnya pun perlu dimiliki, misalnya daerah asal, tempat bekerja, nomor kontak bersangkutan dan nomor kontak keluarga. 

Kendala utama penanganan kejadian dengan cepat adalah sulitnya mengetahui gejala dini terjadinya kekerasan dalam rumah tangga di sekitar kita. Prinsip masalah rumah tangga cukup diketahui oleh keluarga itu sendiri seolah menutup rapat akan adanya tindakan kekerasan psikis dan fisik. Kemudian, jika ada deteksi awal dari warga setempat, ada kendala umum yang terjadi, yakni adanya rasa enggan untuk terlibat secara langsung dari tetangga terdekat. Prinsip tidak mau mencampuri urusan rumah tangga orang lain harus diakui masih melekat dalam diri warga Indonesia. 

"Itu bukan urusan kita, nanti ada apa-apa kita yang terlibat dengan kepolisian, kita lihat saja."

"Jangan ikut campur, saksikan dari jauh saja, mereka memang begitu kok."

Ungkapan-ungkapan seperti inilah yang masih banyak dijumpai jika ada kejadian KDRT di lingkungan masyarakat. Sehingga, ketika ada korban KDRT barulah ada keterkejutan massal dari orang-orang di sekitar tempat kejadian. Sudah lumrah bahwa jika ada kejadian KDRT, maka warga sekitar hanya sekedar menjadi penonton dan pemantau. Hanya sedikit warga yang menjadi pahlawan kemanusiaan untuk cepat tanggap dan melaporkan kepada ketua RT/RW atau pihak berwajib, yang mana selanjutnya urusan penanganan kejadian diberikan langsung kepada pihak kepolisian.

Dalam rangka menekan angka KDRT domestik, pemerintah atau instansi terkait perlu menyediakan layanan darurat yang ditempatkan minimal di tingkat desa/kelurahan. Harus diakui bahwa hingga saat ini belum ada SOP yang mengatur penanganan dini terhadap kejadian KDRT. Melihat mulai tingginya kasus KDRT, sudah waktunya pemerintah menyediakan nomor layanan emergency call. Layanan ini wajib disosialisasikan kepada semua warga, termasuk anak-anak. Nomor layanan harus bisa diakses 24 jam dan paling penting tersambung ke petugas yang cepat tanggap, bukan layanan konsumen dengan suara Veronica. 

Pelaku KDRT perlu ditindaki secara serius berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada. Konsep prihatin terhadap pelaku KDRT karena alasan depresi sah-sah saja terjadi. Pelaku bisa dimaafkan dalam konteks sosial, tetapi aspek penanganan hukumnya harus tetap berjalan. Mungkin tidak semua pelaku akan melakukan hal yang sama ketika kembali ke kehidupan normal di masyarakat, tetapi tetap perlu waspada jika pelaku memiliki kepribadian yang rentan kondisi psikologisnya.

Terkait lokasi visum, sejauh ini daerah-daerah memiliki keterbatasan karena masih terbatasnya dokter terkait, termasuk alat-alatnya. Adapun visum biasanya dilakukan karena adanya permintaan dari keluarga atau orang lain yang merasa memiliki kepedulian untuk tindakan penanganan selanjutnya. Sisanya, pelaku dan korban kekerasan didamaikan secara kekeluargaan. Entahlah apakah karena motif atau karena kepentingan, banyak KDRT yang mengendap dari pemberitaan dan penanganan. 

Peran tokoh agama dan masyarakat yang bisa bertindak sebagai penasehat spritual dalam sebuah kelompok masyarakat sebenarnya banyak membantubdalam pencegahan terjadinya KDRT. Terutama jika konsep kehidupan adat dan kearifan lokal warga setempat masih kuat. Bagaimanapun juga, nilai-nilai kehidupan sosial yang menghargai kearifan lokal jauh lebih kuat pengaruhnya dibandingkan dengan sanksi hukum. Hanya saja konteks ini cenderung lebih efektif dalam kelompok masyarakat yang homogen. Akan rumit jika diterapkan di wilayah perkotaan yang warganya majemuk dan heterogen.

Teori, gejala, dan penanganan kasus KDRT terutama yang menjadikan anak-anak sebagai korbannya sebaiknya dimasukkan sebagai bagian utama dari kurikulum pendidikan di Indonesia. Mata pelajaran bahasa, kewarganegaraan dan pendidikan agama perlu memuat unsur KDRT ini di dalamnya. Sehingga pembelajaran karakter tidak sepenuhnya hanya ada di projek penguatan profil pelajar Pancasila. Lalu, dalam pembelajaran di sekolah, perlu ada pembelajaran tambahan dari pihak kepolisian, tenaga medis, psikolog anak dan unsur terkait. Kegiatan bisa dalam bentuk seminar, sosialisasi atau pemutaran drama kontekstual yang arahnya adalah memberikan pengetahuan kepada peserta didik tentang KDRT ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun