"Jangan ikut campur, saksikan dari jauh saja, mereka memang begitu kok."
Ungkapan-ungkapan seperti inilah yang masih banyak dijumpai jika ada kejadian KDRT di lingkungan masyarakat. Sehingga, ketika ada korban KDRT barulah ada keterkejutan massal dari orang-orang di sekitar tempat kejadian. Sudah lumrah bahwa jika ada kejadian KDRT, maka warga sekitar hanya sekedar menjadi penonton dan pemantau. Hanya sedikit warga yang menjadi pahlawan kemanusiaan untuk cepat tanggap dan melaporkan kepada ketua RT/RW atau pihak berwajib, yang mana selanjutnya urusan penanganan kejadian diberikan langsung kepada pihak kepolisian.
Dalam rangka menekan angka KDRT domestik, pemerintah atau instansi terkait perlu menyediakan layanan darurat yang ditempatkan minimal di tingkat desa/kelurahan. Harus diakui bahwa hingga saat ini belum ada SOP yang mengatur penanganan dini terhadap kejadian KDRT. Melihat mulai tingginya kasus KDRT, sudah waktunya pemerintah menyediakan nomor layanan emergency call. Layanan ini wajib disosialisasikan kepada semua warga, termasuk anak-anak. Nomor layanan harus bisa diakses 24 jam dan paling penting tersambung ke petugas yang cepat tanggap, bukan layanan konsumen dengan suara Veronica.Â
Pelaku KDRT perlu ditindaki secara serius berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada. Konsep prihatin terhadap pelaku KDRT karena alasan depresi sah-sah saja terjadi. Pelaku bisa dimaafkan dalam konteks sosial, tetapi aspek penanganan hukumnya harus tetap berjalan. Mungkin tidak semua pelaku akan melakukan hal yang sama ketika kembali ke kehidupan normal di masyarakat, tetapi tetap perlu waspada jika pelaku memiliki kepribadian yang rentan kondisi psikologisnya.
Terkait lokasi visum, sejauh ini daerah-daerah memiliki keterbatasan karena masih terbatasnya dokter terkait, termasuk alat-alatnya. Adapun visum biasanya dilakukan karena adanya permintaan dari keluarga atau orang lain yang merasa memiliki kepedulian untuk tindakan penanganan selanjutnya. Sisanya, pelaku dan korban kekerasan didamaikan secara kekeluargaan. Entahlah apakah karena motif atau karena kepentingan, banyak KDRT yang mengendap dari pemberitaan dan penanganan.Â
Peran tokoh agama dan masyarakat yang bisa bertindak sebagai penasehat spritual dalam sebuah kelompok masyarakat sebenarnya banyak membantubdalam pencegahan terjadinya KDRT. Terutama jika konsep kehidupan adat dan kearifan lokal warga setempat masih kuat. Bagaimanapun juga, nilai-nilai kehidupan sosial yang menghargai kearifan lokal jauh lebih kuat pengaruhnya dibandingkan dengan sanksi hukum. Hanya saja konteks ini cenderung lebih efektif dalam kelompok masyarakat yang homogen. Akan rumit jika diterapkan di wilayah perkotaan yang warganya majemuk dan heterogen.
Teori, gejala, dan penanganan kasus KDRT terutama yang menjadikan anak-anak sebagai korbannya sebaiknya dimasukkan sebagai bagian utama dari kurikulum pendidikan di Indonesia. Mata pelajaran bahasa, kewarganegaraan dan pendidikan agama perlu memuat unsur KDRT ini di dalamnya. Sehingga pembelajaran karakter tidak sepenuhnya hanya ada di projek penguatan profil pelajar Pancasila. Lalu, dalam pembelajaran di sekolah, perlu ada pembelajaran tambahan dari pihak kepolisian, tenaga medis, psikolog anak dan unsur terkait. Kegiatan bisa dalam bentuk seminar, sosialisasi atau pemutaran drama kontekstual yang arahnya adalah memberikan pengetahuan kepada peserta didik tentang KDRT ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H