Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi perbincangan serius dalam beberapa waktu belakangan ini. KDRT tidak hanya menyasar kekerasan kepada pasangan hidup. Jika selama ini yang rentan mengalami KDRT adalah kaum hawa, maka saat ini justru lebih banyak menyasar anak-anak.Â
Kekerasan yang menyasar anak-anak ini sudah pasti merusak masa depan anak itu sendiri. Kondisi mental dan psikologis anak rentan dan rawan. Anak-anak bisa mengikuti perilaku yang didapatkannya dan sebaliknya mereka bisa menjadi insan yang menutup diri dari kehidupan sosial. Bahkan ada yang terenggut masa depannya karena harus menghadap sang Pencipta lebih cepat.  Sosok ayah selaku kepala rumah tangga menjadi oknum yang paling dominan melakukan KDRT. Meskipun  tak dipungkiri juga, berita-berita kasus kriminal juga banyak memberitakan tindakan seorang ibu yang melukai atau menghilangkan nyawa anaknya sendiri.Â
Masih segar dalam ingatan kita bagaimana empat anak harus kehilangan nyawa yang diduga dilakukan oleh ayahnya sendiri. Lalu, ada pula anak yang meregang nyawa karena dianiaya oleh ayahnya hanya karena menabrak tetangga saat berkendara.Â
Ya, KDRT di lingkup wilayah sekitar kita kini memprihatinkan dan layak menjadi fokus pembelajaran untuk semua orang. Bukan hanya mereka yang telah berumah tangga, melainkan mereka yang masih ada di bangku pendidikan dan dunia kerja dengan status lajang.
KDRT di lingkungan domestik terjadi karena beragam latar belakang. Persoalan ekonomi adalah yang paling umum. Keterbatasan pada biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Â Salah satu orang tua memiliki utang yang lama tak terbayar dan sudah dikejar penagih/pemberi peinjaman. Situasi dan kondisi di lingkungan kerja, susahnya mencari pekerjaan, persoalan kehidupan sosial yang kompleks, hingga doktrin dari paham-paham menyesatkan yang dianut salah satu orang tua dalam rumah tangga. Kondisi-kondisi inilah yang menjadi penyulut labilnya emosi dan psikologis dalam rumah tangga. Ditambah lagi jika pembicaraan dua arah antara pasangan suami-istri sama-sama panas. Pikiran yang pusing dan kalap akhirnay membuat semua yang ada di sekitarnya menajdi sasaran pelampiasan emosi. Dan terakhir, lagi-lagi anak yang tidak tahu apa-apa yang turut menjadi korban.
KDRT terjadi juga karena adanya tekanan psikologis pengalaman masa lalu dari salah satu orang tua. Masa kecil yang dihiasi oleh kekerasan akan memicu kelakuan yang serupa ketika seseorang diperhadapkan pada sebuah situasi yang sulit. Depresi dan tidak ada umpan balik yang menenangkan dalam situasinyang emosional akan membuat seseorang mengambil tindakan yang dianggap menenangkan hatinya dengan pelampiasan pada objek terdekatnya. Pelampiasan kepada pasangan akan menjadi jalan terakhir. Anak-anak cenderung menjadi sasaran utama karena dianggap tidak akan memberikan perlawanan. Kemudian, anak dianggap sebagai tumbal untuk menerima umpan balik yang menenangkan jiwa pelaku KDRT yang sedang emosional.
Di sekitar kita sebenarnya sering terjadi KDRT. Tidak menutup kemungkinan kejadian itu terjadi dalam lingkup rumah tangga kita sendiri. Namun, dianggap sebagai situasi yang normal saja sebagai bagian dari lika-liku kehidupan rumah tanggan.
Umumnya, rata-rata keluarga tempat terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, penghuninya memiliki sikap sosial yang agak tertutup dari tetangga di sekitarnya. Mereka jarang bergaul dan bersosialisasi, meskipun secara komunikasi harian ramah. Untuk kondisi seperti ini, khususnya bagi hunian di wilayah perkotaan yang heterogen dari berbagai latar belakang penduduk, peran ketua RT/RW harus mulai dimaksimalkan. Mereka harus memiliki bank data penghuni lokasi mereka, apakah warga tetap atau indekos. Informasi lainnya pun perlu dimiliki, misalnya daerah asal, tempat bekerja, nomor kontak bersangkutan dan nomor kontak keluarga.Â
Kendala utama penanganan kejadian dengan cepat adalah sulitnya mengetahui gejala dini terjadinya kekerasan dalam rumah tangga di sekitar kita. Prinsip masalah rumah tangga cukup diketahui oleh keluarga itu sendiri seolah menutup rapat akan adanya tindakan kekerasan psikis dan fisik. Kemudian, jika ada deteksi awal dari warga setempat, ada kendala umum yang terjadi, yakni adanya rasa enggan untuk terlibat secara langsung dari tetangga terdekat. Prinsip tidak mau mencampuri urusan rumah tangga orang lain harus diakui masih melekat dalam diri warga Indonesia.Â
"Itu bukan urusan kita, nanti ada apa-apa kita yang terlibat dengan kepolisian, kita lihat saja."