Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Wujudkan Pembelajaran Berpusat pada Murid Lewat Kolaborasi Guru dan Orangtua Murid

19 November 2023   18:23 Diperbarui: 19 November 2023   20:00 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi komunikasi antara guru dengan orang tua. Sumber: dok. pribadi. 

Kurikulum Merdeka menekankan terwujudnya pembelajaran yang berpusat pada murid atau peserta didik. Melalui Kurikulum Merdeka telah banyak terobosan yang dilakukan oleh Kemendikbudristek untuk mendorong realisasi keberpihakan pembelajaran yang mengutamakan murid. 

Program Pendidikan Guru Penggerak (PGP) adalah salah satu kebijakan yang membantu implementasi Kurikulum Merdeka (IKM). Saat ini program PGP telah memasuki angkatan 9.  Di dalam PGP, guru-guru selaku Calon Guru Penggerak banyak belajar tentang pembelajaran yang berpusat pada murid. Calon Guru Penggerak melakukan refleksi mandiri  yang mana salah satunya terkait dengan komunikasi antara guru dengan orang tua murid. 

Harus diakui bahwa selama ini komunikasi antara orang tua/wali murid lebih dominan terjadi antara wali kelas, kesiswaan dan guru Bimbingan Konseling. Sementara komunikasi antara orang tua dengan guru mata pelajaran masih jarang terjadi. Artinya, selama ini tanggung jawab menyelesaikan permasalahan murid dengan orag tua hanya dibebankan kepada wali kelas, guru BK dan bagian kesiswaan. Nah, dalam kaitannya dengan pembelajaran yang berpusat pada murid, maka fungsi dan peran guru mata pelajaran di sekolah tidak serta merta maksimal. Harus terjadi kolaborasi yang intens antara orang tua/wali murid dengan setiap guru mapel di sekolah. 

Kita percaya bahwa setiap murid yang diajar di dalam kelas memiliki keunikan dan karateristiknya masing-masing. Setiap murid berbeda gaya belajarnya, berbeda latar belakang perekonomiaannya, berbeda lingkungannya, berbeda cita-citanya, berbeda agamanya, berbeda cara hidupnya, berbeda sukunya, dll.

Kurikulum Merdeka menekankan akan peran penting identifikasi murid di awal pembelajaran atau lebih tepatnya di awal tahun pembelajaran. Identifikasi ini disebut asesmen diagnostik non-kognitif. Pada asesmen inilah terjadi interaksi dan kolaborasi pertama antara guru dengan orang tua/wali murid. 

Penggalian informasi-informasi awal dari wawancara antara guru dengan orang tua murid pada asesmen diagnostik non-kognitif kemudian akan menjadi dasar pendekatan setiap guru untuk melayani kebutuhan belajar murid.

Seperti inilah kondisi yang terjadi di SMAN 5 Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan. Implementasi Kurikulum Merdeka kemudian mendorong sekolah di mana saya mengajar untuk memaksimalkan asesmen diagnostif non-kognitif. Bekerja sama dengan guru-guru BK dan Kesiswaan serta guru agama, saya selaku guru penggerak mendampingi sekolah untuk mewujudkannya. Meskipun belum maksimal, akan tetapi sudah ada dampak yang bisa didapatkan.

Peran orang tua untuk melengkapi informasi tentang keunikan murid sangat penting. Misalnya seorang guru akan merancang tujuan pembelajaran pada kompetensi-kompetensi yang akan diajarkannya selama satu semester, maka guru tersebut perlu mengetahui gambaran umum gaya belajar murid-murid yang akan dihadapinya. Meskipun pada pelaksanaan asesmen diagnostik non-kognitif sudah tergambar gaya belajar murid lewat instrumen identifikasi yang diberikan pada murid, akan tetapi informasi dari orang tua seputar riwayat belajar anak perlu didapatkan. Ada murid yang bisa langsung mengetahui materi pelajaran ketika gurunya hanya melakukan ceramah di depan kelas. Maka murid tersebut memiliki gaya belajar audio. Langsung paham ketika mendengar instruksi atau penyampaian lewat suara. Ada murid yang nanti paham pembelajaran ketika diperlihatkan gambar, ilustrasi atau video. Maka murid tersebut gaya belaajrnya visual. Ada murid yang memahami pembelajaran ketika ia melakukan praktek langsung. Murid tersebut memiliki gaya belajar kinestetik. Tidak menutup kemungkinan ada murid yang paham pelajaran nanti ketika ia menyentuh atau memegang langsung alat-alat yang dipelajarinya. Maka murid tersebut memiliki gaya belajar taktil. Tidak menutup kemungkinan pula ada murid yang memiliki semua gaya belaajr tersebut atau kombinasi dua gaya belajar. 

Tahun lalu pada salah satu kelas X, ketika saya sedang mengajar bahasa Inggris, saya menemukan seorang peserta didik baru yang sepertinya memiliki kondisi yang berbeda dengan teman-teman sekelasnya. Ia lebih suka menyendiri, tertawa dan berbicara sendiri, hanya fokus pada hal yang diminatinya dan tidak mau berinteraksi dengan teman di sampingnya apalagi sekelasnya. Kemudian saat saya memberikan penjelasan ia condong untuk tidur. Namun, ketika saya menggunakan smartphone dan menampilkan game pembelajaran ia sangat bersemangat belajar. Pada akhirnya saya menyimpulkan anak tersebut adalah anak autis. Dan memang benar, ia anak autis CIBI (cerdas istimewa bakat istimewa). 

Saya pun mencari tahu data-data awalnya di kesiswaan. Setelahnya saya membangun komunikasi dengan ibunya. Fix, anak tersebut autis CIBI. Setelah menerima banyak informasi dari ibunya seputar aktifitasnya di srumah, cara belaajrnya di SD dan SMP, maka saya memutuskan untuk selalu melibatkan penggunaan smartphone ketika mengajar di kelas sebagai media pembelajaran. Anak tersebut kini duduk di kelas XI dengan nilai tertinggi pada mata pelajaran bahasa Inggris dan Matematika.

Ini adalah salah satu contoh keterlibatan orang tua dalam memberikan informasi kepada saya selaku guru mata pelajaran sehingga saya bisa merancang pendekatan dan treatment layanan pembelajaran yang tepat untuk melayani keunikan heterogen yang ada di dalam setiap kelas yang saya ajar. 

Adapula kasus perundungan yang kami jadikan sebagai Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) pada semester ganjil yang lalu. Perundungan atau bullying adalah kasus yang paling sering terjadi sejauh ini di sekolah. Bukan hanya terjadi pada jenjang SD dan SMP tetapi juga terjadi pada jenjang SMA. 

Berdasarkan informasi dari salah satu orang tua peserta didik kelas X yang menelfon ke saya dan juga ke wali kelas yang mana ia keberatan dengan terjadinya perundungan kepada anaknya lewat tekanan-tekanan memojokkan di media sosial. Tidak lama setelah menerima informasi, saya menindaklanjutinya bersama wali kelas. Memang benar terjadi. Pelaku perundungan masih dalam kelas yang sama. Orang tua bersangkutan kemudian kami panggil untuk datang ke sekolah. Kami menggali informasi secara mendalam terkait anak yang menerima perundungan. 

Singkatnya, setelah informasi valid, kami mempertemukan peserta didik yang menerima perundungan dengan para pelaku. Akhirnya ada kesepakatan dan perdamaian. Belajar dari kasus perundungan tersebut, kami sepakat untuk menjadikan topik Stop Bullying di Media Sosial sebagai P5 pada tema Bagunlah Jiwa dan Raganya. 

Pembelajaran yang berpusat pada murid dapat diwujudkan dengan mengumpulkan informasi dari orang tua murid yang terkait dengan keunikan murid sehingga guru bisa merancang tujuan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan belajar murid. Kemudian, melakukan tindak lanjut atas terjadinya perundungan di sekolah melalui pelibatan orang tua murid turut pula mewujudkan pembelajaran yang mengarah kepada kebutuhan murid. Perundungan tidak terjadi tanpa latar belakang. Penyimpangan murid di sekolah yang salah satunya melakukan perundungan dapat diselesaikan dengan baik ketika melibatkan orang tua, baik pelali perundungan maupun korban perundungan. Peran sekolah dan guru bukan menghakimi pelaku perundungan, melainkan menjadi fasilitator untuk menghubungkan kebutuhan-kebutuhan emosional murid. 

Karakter murid yang baik pastinya selalu berproses dalam berbagai kondisi dan keadaan. Pembelajaran yang berpihak pada murid bukan semata konten pelajaran melainkan pembangunan karakter. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun