Oya, warga Muslim Toraja sebagian besar adalah Nahdlatul Ulama (NU). Jika ada keluarga yang meninggal, tetap ada acara tausiah diikuti ritual-ritual menurut adat Toraja pada malam ketiga, ketujuh, keempat puluh dan malam keseratus. Ritus hari keseratus adalah upacara terakhir yang biasanya dijadikan acara puncak bagi keluarga Muslim Toraja. Seringkali disebut ma'papura (ritual akhir/penghabisan).
Ketika saya tiba di lokasi acara, ternyata prosesi hari keseratus sang nenek mirip dengan prosesi kedukaan pada umumnya. Yang menjadi pembeda adalah ternak yang dibawa oleh kerabat keluarga.Â
Oleh karena Muslim yang memiliki acara, maka selain kerbau sebanyak 8 ekor yang disembelih, 1 ekor kerbau hidup dilelang dan 1 ekor lagi ditinggalkan untuk keluarga. Total ada 10 kerbau jantan dewasa yang menajdi kurban acara keseratus hari tersebut. Terdapat juga kambing yang dibawa keluarga yang tongkon.Â
Jadi, tidak ada babi atau daging babi yang disajikan meskipun keluarga yang datang tongkon masih dominan agama Kristen. Semua saling menghargai dan menjunjung tinggi toleransi. Sanak famili yang hadir untuk tongkon ada yang membawa kerbau, kambing, piong (lemang) ayam, beras, gula, rokok dan tuak.Â
Bersalaman, cium tangan, berpelukan, bahkan ada yang menangis haru karena bertemu keluarganya untuk kali pertama. Sanak keluarga yang datang melayat berasal dari hampir seluruh penjuru Tana Toraja dan Toraja Utara.
Rangkaian ritus sebenarnya sudah berlangsung sejak sehari sebelumnya. Puluhan pondok (lantang) dengan ornamen dan ukiran khas Toraja dibuat oleh warga untuk keluarga yang berduka. Ornamen dan ukiran terpasang di kain yang disebut kaseda. Jika acara kedukaan, warna dasar kaseda hanya dua, yakni merah dan hitam
Keluarga dan kerabat yang datang tongkon akan disambut dan dijamu oleh anggota keluarga berduka yang dituju. Di sela-selanya ada acara ma'lelang atau penguangan natura, yakni melakukan lelang untuk sejumlah potongan daging kerbau dan kepala kerbau. Puncak acara tongkon adalah tausiah dari seorang ustadz dari pegawai Kemenag Tana Toraja. Dan yang paling ditunggu-tunggu adalah sesi makan bersama.Â
Ketika rekan yang saya tuju sudah menempatkan kami di pondok yang telah disiapkan, ia banyak bercerita tentang asal-usul neneknya. Wah, ternyata setengah darah dari rekan tadi masih sekampung dengan saya. Singkat cerita, kami masih memiliki hubungan kekerabatan. Banyak hal yang kami bicarakan lagi, termasuk membicarakan asal-usul dengan bapak-bapak dan ibu-ibu yang duduk satu pondok dengan saya.