Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Cerita Perjalanan Ke Kecamatan Simbuang: Akhirnya Tumbang Juga

13 Oktober 2023   23:00 Diperbarui: 15 Oktober 2023   12:42 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketika berhenti di tengah perjalananan menuju Simbuang. Sumber: dok. pribadi.

Katanya perjalanan ke Kecamatan Simbuang tidak sempurna jika tidak jatuh. Apakah itu selaku pengendara atau penumpang, yang jelasnya perjalanan akan sempurna dan dikenang ketika terjatuh. Itulah yang saya alami ketika untuk kedua kalinya diberi kesempatan untuk menjajal rute ekstrim menuju Kecamatan berstatus terpencil di Tana Toraja. 

Perjalanan kedua saya kali ini harus terjadi di malam hari. Ini bukan kesengajaan tetapi karena memaksimalkan waktu. Jika saya berangkat pagi, maka program pendampingan individu kepada salah seorang calon guru penggerak bisa tidak berlajan dengan baik. Tambahan pula, di sekolah tujuan saya, UPT SMPN Satap 2 Simbuang juga akan saya isi dengan sesi Implementasi Kurikulum Merdeka. 

Setelah melewati jalur Sa'dan yang penuh tikungan tajam dan berbatu serta sempat dikagetkan oleh rombongan kecil babi hutan di tengah jalan, saya bersama satu rekan guru yang menjadi driver motor Xtrail yang kami gunakan menyusuri jalur Leppan-Petarian di Lembang (desa) Makkodo. 

Perjalanan malam hari memang sangat berbeda jika berlangsung di siang hari. Bebatuan dan jalan rusak jauh lebih jelas terlihat ketika disorot oleh lampu motor di malam hari. Bahkan saya menyimpulkan bahwa, perjalanan malam hari kali ini benar-benar memberikan gambaran bahwa jalan yang kami lewati rusak berat.

Selanjutnya, menemui pagar besar menutupi jalan di sepanjang jalan menuju Simbuang adalah seni tersendiri pula di malam hari. Sulu' adalah nama pagar tersebut yang digunakan sebagai pembatas ternak liar berupa kerbau, sapi dan kuda. Ketiga jenis ternak ini memang banyak dijumpai di sepanjang rute menuju Kecamatan Simbuang-Mappak. Sulu' pertama sudah kami temui di dusun Sandangan.  Sulu' kedua menyambut kami di sebuah pendakian di sekitar kampung Leppan. Motor dihentikan sejenak, saya bertugas membuka sulu' yang terbuat dari kayu hitam. Setelah itu, saya menutupnya kembali. Kegiatan buka-tutup sulu' ini wajib dilakukan, pengecualian jika memang sulu' sudah terbuka, boleh dibiarkan terbuka pula setelah melewatinya. Namun, jika sulu' tertutup ketika akan dilewati, maka wajib pula menutupnya kembali. Ini adalah penerapan kearifan lokal yang unik dan wajib dipahami ketika melintasi jalan menuju Simbuang. 

Dengan posisi membonceng di motor Xtrail, saya wajib menjaga keseimbangan motor. Jalan berbatu dengan batuan khas alam berwarna hitam nampak jelas diterpa lampu motor. Sangat kontras kondisi jalan dengan yang saya lalui sebulan sebelumnya. Bebatuan dan jalan yang hancur jauh lebih parah, meskipun masih musim kemarau. 

Berbekal pemahaman bahwa rekan saya yang bertindak sebagai driver sudah berpengalaman menjajal jalan raya Simbuang-Mappak, saya turut merasa percaya diri di perjalanan malam hari ini. Rekan saya yang juga adalah seorang Guru Penggerak memang mengajar di salah satu SD di Kecamatan Mappak. Ia sangat lihat melihat jalan, baik jalan menanjak maupun di penurunan. Cerita dan percakapan tiada henti menghiasi hampir setiap nafas kami yang keluar. Sehingga medan berat yang kami lalui seperti tidak terasa.

Makin lama, jalan di kampung Leppan makin mendaki juga. Meskipun kami sesekali sudah menemui rumah warga, tetapi karena belum adanya akses listrik, maka suasana tetap gelap gulita. Sepi tanpa aktifitas. Hanya sesekali disambut oleh gonggongan anjing. 

Jalan berbatu dan tidak beraturan turut andil membuat kedua paha dan pantat saya semakin pegal. Terutama di tanjakan. Kami selalu menghitung tanjakan yang kami lalui sambil menimbang tanjakan mana yang paling ekstrim. Lalu tibalah kami pada tanjakan kedua terakhir di Leppan. Medannya menanjak tajam, di ujung tanjakan berupa tikungan. Awal tanjakan berupa bebatuan besar bercampur tanah berdebu. Di pertengahan tanjakan dominan tanah berdebu dengan kontur berupa selokan agak dalam di sisi kanan. Motor sepertinya melaju mulus di tanjakan, akan tetapi suara raungannya mulai berat. Ini tanda bahwa motor mulai tidak kuat. Menjelang tiba di ujung tanjakan yang berupa tikungan dengan selokan makin dalam dan bebatuan besar di tengah jalan, motor tiba-tiba mati mesin. Rekan saya juga kehilangan kendali. Kakinya tidak maksimal lagi berpijak ke tanah. Dan... terjatuhlah kami. Saya yang membonceng terpelanting ke belakang, sementara rekan saya terjatuh ke samping kanan masuk selokan. Beruntung kami tidak mengalami luka. 

Ya...akhirnya kami tumbang juga. Kami tertawa sejenak. Motor kami biarkan telentang di jalan sekaligus mengambil nafas istirahat. Tidak ada orang yang melihat kami terjatuh, selain gelapnya langit dan sunyinya jalan tanpa rumah. Adapun mobil ambulans yang sempat kami dahului sebelumnya, belum nampak jika mendekat. 

Setelah menyusuri sedikit lokasi kami terjatuh, ternyata itu adalah tempat saya juga terjatuh ketika pulang dari Simbuang sebulan yang lalu. Pak guru rekan saya akhirnya ikut bercanda bahwa memang tidak sempurna perjalanan ke Simbuang jika tidak terjatuh, Meskipun katanya sudah mahir dan sering melalui jalan ke Simbuang, pasti akan terjatuh. 

Kami memeriksa kondisi motor. Tidak ada lecet parah. Kekhawatiran kami justru pada bambu shock depan motor yang menghantam batuan besar di tengah tanjakan saat terjatuh. Untunglah aman-aman saja. 

Celana dan jaket kami serta ransel yang kami bawa penuh debu putih pucat efek tertidur di jalan saat terjatuh. Saya memeriksa tripon kamera yang saya pengang, ternyata satu baut penyangganya lepas. Kami mencoba mencarinya tetapi tidak ketemu. Adapun tas kecil yang melintag di badan saya juga turut robek. Entah tersangkut apa hingga robek. 

Memastikan bahwa kondisi kami sudah baik, kami melanjutkan pendakian di Leppan menuju kampung Petarian. Perjalanan malam di tanjakan seolah berlangsung lambat sekali. Mungkin karena kami sudah terjatuh hingga laju motor juga mulai hati-hati. Memasuki Petarian, di kejauhan mulai nampak silau lampu listrik dari rumah warga. Bekas rabat beton sudah menajdi penghias jalan. Itu tanda bahwa Petarian sudah menajdi kampung berikutnay untuk dilalui. Dua kali kami berpapasan dengan kawanan sapi liar di Petarian. Mereka sudah terbiasa dengan kendaraan sehingga tidak panik dan seolah menyambut teman saja. 

Rasa pegal makin mengganggu kedua kaki dan pantat saya manakala tanjakan tiada ujung di sepanjang jalan di Lembang Makkodo kami lalui. Saya sudah meminta ke rekan saya untuk berhenti jika sudah tiba di jalan yang rata. Selama di tanjakan yang dirabat beton, kami hanya dua kali berpapasan dengan motor. Selebihnya kampung sunyi meskipun sudah dihiasi dengan lampu listirk dari tenaga turbin. Oleh karena daya yang kecil, maka lampu-lampu di rumah warga seperti kerlap-kerlip lampu Natal. Menyala dan padam bergantian. Wajar memang karena debit air sungai di sumber air di mana turbin berada sangat kurang karena musim kemarau. 

Memang sudah ada tiang pancang PLN lengkap dengan kabelnya yang berasal dari Kabupaten Mamasa telah menghiasi jalan di Lembang Makkodo. Menurut rekan saya, seharusnya listrik PLN sudah beroperasi di akhir tahun 2022. Namun, tak kunjung berfungsi karena terjadi longsor di kampung Buangin yang membatasi Kecamatan Simbuang dan Mappak. Puluhan tiang listrik di sana katanya hancur terbawa longsor musim hujan tahun lalu. 

Cerita pak guru tentang listrik PLN inilah yang menjadi bumbu perjalanan hingga pada akhirnya kami memutuskan berhenti ketika memasuki ibu kota Lembang Makkodo. Jalan mulai rata meskipun tak ada rumah. Jaringan internet pun sudah ada meskipunterbatas. Kami berdua mendapat telepon dari istri masing-masing. Jam menunjukkan pukul 07.40 saat itu. Perjalanan masih diperkirakan lebih sejam lagi. 

Meskipun pada akhirnya kami terjatuh, tumbang di jalan, itu adalah pengalaman menarik saya dalam perjalanan kedua saya ke Kecamatan Simbuang. Ini adalah jawaban yang memastikan bahwa Kecamatan Simbuang memang butuh pembangunan infrastruktur jalan raya. Musim hujan ekstrim sama saja dengan musim kemarau. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun