Katanya perjalanan ke Kecamatan Simbuang tidak sempurna jika tidak jatuh. Apakah itu selaku pengendara atau penumpang, yang jelasnya perjalanan akan sempurna dan dikenang ketika terjatuh. Itulah yang saya alami ketika untuk kedua kalinya diberi kesempatan untuk menjajal rute ekstrim menuju Kecamatan berstatus terpencil di Tana Toraja.Â
Perjalanan kedua saya kali ini harus terjadi di malam hari. Ini bukan kesengajaan tetapi karena memaksimalkan waktu. Jika saya berangkat pagi, maka program pendampingan individu kepada salah seorang calon guru penggerak bisa tidak berlajan dengan baik. Tambahan pula, di sekolah tujuan saya, UPT SMPN Satap 2 Simbuang juga akan saya isi dengan sesi Implementasi Kurikulum Merdeka.Â
Setelah melewati jalur Sa'dan yang penuh tikungan tajam dan berbatu serta sempat dikagetkan oleh rombongan kecil babi hutan di tengah jalan, saya bersama satu rekan guru yang menjadi driver motor Xtrail yang kami gunakan menyusuri jalur Leppan-Petarian di Lembang (desa) Makkodo.Â
Perjalanan malam hari memang sangat berbeda jika berlangsung di siang hari. Bebatuan dan jalan rusak jauh lebih jelas terlihat ketika disorot oleh lampu motor di malam hari. Bahkan saya menyimpulkan bahwa, perjalanan malam hari kali ini benar-benar memberikan gambaran bahwa jalan yang kami lewati rusak berat.
Selanjutnya, menemui pagar besar menutupi jalan di sepanjang jalan menuju Simbuang adalah seni tersendiri pula di malam hari. Sulu'Â adalah nama pagar tersebut yang digunakan sebagai pembatas ternak liar berupa kerbau, sapi dan kuda. Ketiga jenis ternak ini memang banyak dijumpai di sepanjang rute menuju Kecamatan Simbuang-Mappak. Sulu' pertama sudah kami temui di dusun Sandangan. Â Sulu' kedua menyambut kami di sebuah pendakian di sekitar kampung Leppan. Motor dihentikan sejenak, saya bertugas membuka sulu' yang terbuat dari kayu hitam. Setelah itu, saya menutupnya kembali. Kegiatan buka-tutup sulu' ini wajib dilakukan, pengecualian jika memang sulu' sudah terbuka, boleh dibiarkan terbuka pula setelah melewatinya. Namun, jika sulu' tertutup ketika akan dilewati, maka wajib pula menutupnya kembali. Ini adalah penerapan kearifan lokal yang unik dan wajib dipahami ketika melintasi jalan menuju Simbuang.Â
Dengan posisi membonceng di motor Xtrail, saya wajib menjaga keseimbangan motor. Jalan berbatu dengan batuan khas alam berwarna hitam nampak jelas diterpa lampu motor. Sangat kontras kondisi jalan dengan yang saya lalui sebulan sebelumnya. Bebatuan dan jalan yang hancur jauh lebih parah, meskipun masih musim kemarau.Â
Berbekal pemahaman bahwa rekan saya yang bertindak sebagai driver sudah berpengalaman menjajal jalan raya Simbuang-Mappak, saya turut merasa percaya diri di perjalanan malam hari ini. Rekan saya yang juga adalah seorang Guru Penggerak memang mengajar di salah satu SD di Kecamatan Mappak. Ia sangat lihat melihat jalan, baik jalan menanjak maupun di penurunan. Cerita dan percakapan tiada henti menghiasi hampir setiap nafas kami yang keluar. Sehingga medan berat yang kami lalui seperti tidak terasa.
Makin lama, jalan di kampung Leppan makin mendaki juga. Meskipun kami sesekali sudah menemui rumah warga, tetapi karena belum adanya akses listrik, maka suasana tetap gelap gulita. Sepi tanpa aktifitas. Hanya sesekali disambut oleh gonggongan anjing.Â
Jalan berbatu dan tidak beraturan turut andil membuat kedua paha dan pantat saya semakin pegal. Terutama di tanjakan. Kami selalu menghitung tanjakan yang kami lalui sambil menimbang tanjakan mana yang paling ekstrim. Lalu tibalah kami pada tanjakan kedua terakhir di Leppan. Medannya menanjak tajam, di ujung tanjakan berupa tikungan. Awal tanjakan berupa bebatuan besar bercampur tanah berdebu. Di pertengahan tanjakan dominan tanah berdebu dengan kontur berupa selokan agak dalam di sisi kanan. Motor sepertinya melaju mulus di tanjakan, akan tetapi suara raungannya mulai berat. Ini tanda bahwa motor mulai tidak kuat. Menjelang tiba di ujung tanjakan yang berupa tikungan dengan selokan makin dalam dan bebatuan besar di tengah jalan, motor tiba-tiba mati mesin. Rekan saya juga kehilangan kendali. Kakinya tidak maksimal lagi berpijak ke tanah. Dan... terjatuhlah kami. Saya yang membonceng terpelanting ke belakang, sementara rekan saya terjatuh ke samping kanan masuk selokan. Beruntung kami tidak mengalami luka.Â
Ya...akhirnya kami tumbang juga. Kami tertawa sejenak. Motor kami biarkan telentang di jalan sekaligus mengambil nafas istirahat. Tidak ada orang yang melihat kami terjatuh, selain gelapnya langit dan sunyinya jalan tanpa rumah. Adapun mobil ambulans yang sempat kami dahului sebelumnya, belum nampak jika mendekat.Â