Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Masih Relevankah Razia Cukur Rambut Tiba-Tiba di Kurikulum Merdeka?

7 Oktober 2023   09:53 Diperbarui: 16 Oktober 2023   04:20 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah bapak/ibu guru masih sering menjumpai murid atau siswa yang berlarian di sekolah karena menghindari razia rambut, khususnya rambut laki-laki? Ataukah bapak/ibu selaku guru-guru di sekolah yang terlibat langsung dalam razia? Pernahkah terbayangkan bagaimana kondisi psikis para murid/siswa ketika berusaha menghindari razia? 

Razia cukur rambut sepertinya masih menjadi tren di sekolah-sekolah hingga saat ini. Bukan hanya sekolah swasta yang melakukannya, sekolah-sekolah negeri pun masih melakukan tindakan yang sama. Uniknya lagi razia cukur rambut dilakukan secara tiba-tiba. Latar belakang bervariasi menjadi alasan mengapa razia cukur rambut masih populer. 

Kata "disiplin" tentunya menjadi latar belakang masih berlangsungnya razia cukur rambut di sekolah. Konsep ini lumrah terjadi mulai dari jenjang SD hingga SMA, khususnya di sekolah-sekolah di bawah naungan pemerintah atau sekolah negeri. Anak yang terjaring razia cukur rambut biasanya identik dengan label anak kurang disiplin dan label sebaliknya bagi anak yang tidak pernah melanggar aturan ukuran rambut di sekolah.

Kadang kala, seorang guru yang melakukan razia cukur rambut bukannya mencari tahu penyebab anak memiliki rambut yang melebihi ukuran yang telah ditetapkan sekolah. Melainkan, sang oknum guru melakukan cukur rambut dengan model "semau sendiri" sambil mengomel kepada sang anak. Apakah di sini ada pembelajaran yang diterima oleh anak? Apakah anak baik-baik saja kesehatan jiwanya? Apakah anak selanjutnya akan patuh kepada aturan?

Bagaimana di jenjang SMA? Di sekolah-sekolah menengah atas, bukan hanya terkait disiplin, razia cukur rambut dibarengi alasan sebagai program OSIS. Biasanya tata tertib sekolah sudah mentukan model rambut dan ukuran panjang rambut para siswa laki-laki. Bahkan pada sejumlah sekolah negeri dengan label terakreditas A juga menetapkan sanksi penambahan atau pengurangan poin jika terbukti memiliki ukuran rambut di luar tata tertib sekolah. Rentang sanksi poin antara 5-10 setiap kali razia. Bayangkan jika seorang anak sampai tiga kali terkena razia dalam seminggu, maka kesempatannya untuk melanjutkan pendidikan di sekolah tersebut mulai menipis hanya gara-gara rambut.

Tempat pelaksanaan razia pun berbeda-beda di setiap sekolah. Ada yang melakukan razia rambut di sekitar gerbang masuk sekolah setiap pagi. Ada pula yang menjalankan aktifitas razia langsung ke kelas pada waktu-waktu tertentu. Selain karena alasan tata tertib sekolah, ukuran rambut juga dijadikan sebagai salah karakteristik sebuah sekolah. Jika di bangku SD hingga SMP model rambut laki-laki biasanya model kelapa. Adapun keseragaman rambut dikaitkan pula dengan keseragaman pakaian mereka.

Di masa Kurikulum Merdeka, sebenarnya sah-sah saja razia cukur rambut dijalankan. Intinya tidak ada yagn merasa dirugikan ketika dijalankan. Namun, sebaiknya penting untuk membuat kesepakatan antara sekolah, orang tua/wali siswa dan siswa terkait tata tertib yang memuat aturan ukuran rambut. Jika siswa dan orang tua/walinya sepakat, maka pihak sekolah melalui bidang kesiswaan dan OSIS bisa menjalankannya. Artinya, cukur rambut menimbulkan rasa senang antara sekolah, siswa dan orang tua/wali. Jika terjadi demikian, maka akan sangat kecil kemungkinan terjadi penolakan dari siswa dan orang tuanya ketika mendapat razia cukur rambut. 

Hal pokok lainnya adalah razia cukur rambut sebaiknya menjadi sarana pembelajaran dan pembangunan karakter siswa. Ini akan menjawag salah satu tantangan yang wajib dipenuhi oleh guru selama menjalankan Kurikulum Merdeka, yakni mewujudkan pembelajaran yang berpusat pada murid. Pertanyaannya adalah apakah kegiatan melakukan razia cukur rambut bisa menjadi sarana pembelajaran yang berpusat pada murid? Atau apakah ada korelasi antara razia dengan memenuhi kebutuhan belajar murid? 

Sejauh pandangan masyarakat awam, anak yang terjaring razia cukur rambut bukannya menerima sebuah pelajaran melainkan sebagai sebuah hukuman. Artinya razia adalah sanksi atau hukuman atas sebuah pelanggaran. Karena seperti yang dipahami bahwa Merdeka Belajar tidak mengenal reward and punishment lagi, tapi lebih menitikberatkan pada pembagunan karakter anak. 

Razia cukur rambut jangan sampai justru membuat mental siswa memburuk. Sudah menjadi fakta klasik bahwa ketika ada siswa yang terkena razia cukur rambut di sekolah, biasanya ada rekannya yang lain yang menertawainya. Selain itu, perilaku guru yang mencukur rambut siswa di depan orang banyak justru membuat sifat anak memberontak. Di Toraja, razia cukur rambut populer disebut dengan ma'sori. Istilah ini cenderung ditakuti siswa. Ma'sori itu bukan merapikan rambut siswa yang panjang, tetapi yang mencukur rambut membuat model berantakan di kepala. Ada yang menyerupai sawah tadah hujan yang bertumpuk, aliran sungai atau sekedar di buat lubang menganga di tengah kepala siswa. Kondisi ini tentu membuat siswa malu dan memberontak. Bagaiman tidak, jiwanya pasti berontak tidak menerima perlakuan semena-mena, seolah-olah dipermalukan. 

Memang sebaiknya, razia cukur rambut dihilangkan. Lebih dititikberatkan pada membangun budaya positif di lingkungan sekolah. Dalam hal ini, sekolah dan guru mulai membiasakan membuat kesepakatan sekolah atau kesepakatan kelas untuk lingkup yang lebih kecil. Misalnya, dalam rapat bersama seluruh siswa, pihak sekolah mengajukan pertanyaan, "Bagaimana tindakan yang bijak terhadap rambut panjang laki-laki di sekolah? ". Biarkan siswa yang mengajukan tindak lanjut jika ditemukan siswa laki-laki berambut panjang. Buat pula kesepakatan berapa ukuran minimal rambut pria dan berapa ukuran maksimalnya, termasuk modelnya seperti apa. Sekali lagi, siswa dibiarkan memberikan masukan. Setelah itu, guru memberikan kesimpulan atau menawarkan alternatif terbaik untuk dilakukan. 

Nah, jika sudah terjalin kesepakatan antara siswa dengan sekolah dan gurunya, maka siswa juga akan mulai terbiasa dengan kesepakatan tersebut. Dengan catatan, setiap minimal sekali seminggu, misalnya di upacara penaikan bendera setiap hari Senin, sekolah melakukan sosialisasi kesepakatan kelas. Di sini frekuensi mengingatkan kesepakatan kepada siswa sangat penting. Perlu dihindari untuk melakukan sosialisasi hanya ketika mendapati ada siswa yang berambut panjang. 

Jika memungkinkan, sebaiknya kesepakatan sekolah/kelas terdokumentasikan. Sekolah membuat semacam kartu atau buku saku yang dibagikan kepada seluruh siswa terkait kesepakatan yang telah dibuat. Cara lainnya adalah di papan mading sekolah atau di billboard sekolah, dipasang informasi terkait kesepakatan sekolah, salah satunya terkait rambut. Selebihnya, guru-guru di sekolah tidak mengenal lelah mengkampanyekan kesepakatan sekolah/kelas setiap hari.

Mimpi besar boleh ditargetkan dari sekarang akan efektifitas kesepakatan sekolah/kelas? Bukan tidak mungkin suatu hari nanti, jika anak sudah menjadikan kesepakatan kelas sebagai sebuah budaya, maka akan kita dapatkan kelas yang nyaman suasana belaajrnya meskipun tidak ada guru di dalamnya atau penilaian semester/ujian bisa berlangsung aman, tertib dan jujur tanpa pengawas ruang.

Tak ada salahnya mencoba untuk mulai memaksimalkan kesepakatan kelas dalam lingkup budaya positif. Karena bagaimanapun juga, masih ada etnis masyarakat tertentu yang masih memegang tradisi nenek moyang mereka tentang keistimewaan rambut. Tidak sembarang dipotong, mesti melalui ritual tertentu. Sanksi atau hukuman lewat razia cukur rambut tidak selalu sukses membuat jera anak. Membangun karakter yang baik sebaiknya menjadi fokus sekolah. Toh, jika razia cukur rambut masih dijalankan, sebaiknya bukan sebagai tanda hukuman. Guru yang melakukan razia seyogyanya merapikan rambut siswa ke ukuran sewajarnya bukan malah membuat jiwa siswa tidak tenteram. Jika perlu, pihak sekolah menghadirkan tukang cukur rambut di sekolah untuk merapikan rambut siswa yang melebihi batas ukuran. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun